MAKNA BUDAYA BÖWÖ FAMÖ’Ö DANGA PADA ACARA PERNIKAHAN
ADAT DI
DESA FONDRAKÖ RAYA KECAMATAN ULUSUSUA
MINI
RESEARCH
OLEH
ALEXANDER
GIAWA
NPM:
14200261008
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP
– NIAS SELATAN
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2016
/2017
KATA
PENGANTAR
Penulis mempersembahkan puji
syukur atas berkat dan anugrah Tuhan yang Maha Pengasih, sehingga penyusunan
mini research yang berjudul Makna Budaya Böwö Famö’ö Danga
Pada Acara Pernikahan Adat Di Desa Fondrakö Raya
Kecamatan Ulususua dapat
diselesaikan dengan baik. Kegiatan penelitian ini, merupakan salah satu syarat
pada mata kuliah metodologi penelitian di program studi pendidikan bahasa dan
sastra Indonesia. Dalam usaha pelaksanaan penelitian kecil-kecilan ini, penulis
mendapat banyak nasihat dan bimbingan dari berbagai pihak. Dengan penuh
kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu penulis untuk menyelesaikan penelitian kecil-kecilan ini.
Semoga Tuhan yang Maha Pengasih melimpahkan berkat dan anugrahNya
kepada semua pihak yang telah turut mendukung penulis dalam penyelesaian mini
research ini.
Telukdalam, 20 Januarir 2017
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGATAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah........................................................... 1
B. Fokus Penelitian........................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian...................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian.................................................................... 6
BAB II LANDASAN TEORI.......................................................................
7
A. Budaya....................................................................................... 7
1. Pengertian Buday................................................................. 7
2. Sifat- sifat Kebudayaan....................................................... 10
B. Böwö.......................................................................................... 11
1. Pengantar............................................................................. 11
2. Defenisi Böwö/ jujuran(mahar)........................................... 11
3. Latar Belakang Terjadinya Böwö........................................ 13
C. Famo’o Danga............................................................................ 29
1. Pengertian Famö’ö Danga.................................................... 29
2. Ciri- ciai Famö’ö Danga....................................................... 29
D. Pernikahan.................................................................................. 30
E. Masyarakat Desa........................................................................ 31
1. Pengertian Masyarakat Desa................................................ 31
2. Ciri- ciri Masyarakat Desa.................................................... 31
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN....................................................
33
A. Pendekatan dan Jenis Penelitian................................................ 33
B. Lokasi Penelitian....................................................................... 33
C. Kehadiran Peneliti.................................................................... 34
D. Sumber Data............................................................................. 35
E.
Prosedur
Pengumpulan Data.................................................... 35
F.
Analisis Data............................................................................. 36
DAFTAR PUSTAKA 38
DAFTAR LAMPIRAN
1.
Narasumber
Penelitian................................................................................. 40
2.
Daftar
Pertanyaan........................................................................................ 41
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Landasan pembangunan dan
pengembangan suatu suku bangsa adalah budayanya sendiri. Kata budaya
berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah yang mempunyai arti bahwa
segala sesuatu yang ada hubungannya dengan akal dan budi manusia. Secara
harafiah, budaya adalah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat
yang diwariskan secara turn temurun kepada generasi berikutnya. Adapun
perbedaan antar agama,suku, politik, pakaian, lagu, bahasa, bangunan, maupun
karya seni itu akan membuat terbentuknya suatu budaya. Didalam budaya tercermin karakter,
pribadi, jati diri atau identitas serta norma-norma suku bangsa tersebut.
Demikian juga masyarakat Kabupaten Nias Selatan memiliki banyak budaya yang
masih bertahankan, namun sudah mulai dilupakan oleh masyarakat Nias Selatan
sendiri, tak dapat disangkal bahwa keberadan bebagai budaya di Nias Selatan
sudah mulai terkikis bahkan terancam punah. Hal ini disebabkan kurangnya minat
generasi penerus di Nias Selatan untuk mengenali budayanya sendiri.
Dizaman globalisasi ini dunia telah
dikuasai oleh tekhnologi, sehingga dengan mudah kita dapat mengenali budaya
barat dan melupakan budaya sendiri, pemerolehan informasi yang sangat mudah,
cepat dan instan inilah yang mengancam keberadaan budaya di Nias Selatan. Salah
satu dari sekian banyak budaya yang ada di Nias Selatan adalah böwö dalam
pernikahan, kata böwö
bahkan sudah tercatat dalam kamus besar Bahasa Indonesia(KBBI). Di Nias Selatan
böwö dalam pernikahan terdiri dari
beberapa bagian, salah satu diantarnya yaitu Böwö Famö’ö
Danga yang merupakn bagian dari budaya masyarakat desa Fondrakö Raya, kecamatan Ulususua, Kabupaten
Nias Selatan. Saat
ini anak-anak remaja, bahkan orangtua lebih senang bermain dengan alat-alat
elektroniknya yang canggih ketimbang mengenali serta melestarikan budayanya
sendiri, oleh sebab itu sebagai seorang calon sarjana yang perduli dan cinta
akan budaya sendiri maka penulis ingin mencari tahu makna sekaligus
mengingatkan masyarakat luas khususnya masyarakat Nias Selatan tentang “Makna Budaya Böwö Famö’ö
Danga Pada Acara Pernikahan Adat Di Desa Fondrakö Raya Kecamatan Ulususua”
Pernikahan/ Perkawinan merupakan
salah satu jalan atau suratan hidup yang dialami oleh hampir semua manusia
dimuka bumi ini walaupun ada beberapa diantaranya yang tidak terikat dengan
perkawinan sampai ajal menjemput. Semua agama resmi di Indonesia memangdang
perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, harus dihormati, dan harus dijaga
kelanggengannya. Oleh karena itu, setiap orang tua merasa tugasnya sebagai
orang tua telah selesai bila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan.
Berdasarkan UU PERKAWINAN NO.1 TAHUN
1974 pernikahan / Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut PROF.
SUBEKTI, SH Pernikahan/ Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Dengan demikian dapat
diartikan bahwa pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang
laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama dan disahkan secara
undang – undang serta agama.
Dalam melaksanakan pernikahan di
Nias Selatan mahar disebut Bowo sama seperti daerah di kepulauan Nias lainnya,
namun ukuran dan tata cara pemberiannya agak berbeda, bahkan dilintgkungan Nias
Selatan sajapun terdapat berbagai perbedaan ukuran dan tata cara pemberian
Bowo. Misalnya di desa Fondrako raya kecamatan Ulususua, kabupaten Nias
Selatan, menurut informasi yang penulis terima dari masyarakat Desa Fondrako
Raya, pernikahan merupakan hal yang sangat sakral dan memiliki nilai yang
tinggi, bagi masyarakat Desa Fondrako Raya, utuk melaksanakan acara pernikahan
adat ada beberapa hal penting yang menjadi persyaratan untuk pihak laki-laki
agar dapat melangsungkan proses upacara pernikahannya secara adat, salah satu
persyaratan penting itu adalah “ FAMO’O DANGA”.
Famo’o danga ini biasanya diberikan
orang tua / wali pihak laki-laki kepada orang tua / wali pihak perempuan,
dengan diberikannya famo’o danga ini, maka orang tua /wali dari pihak perempuan
menyerahkan anaknya kepada orang tua / wali pehak laki-laki secara bersamaan.
Dalam pemberian famo’o danga ini pihak laki-laki wajib memberi famo’o danga
tersebut dalam bentuk emas 24 karat murni dengan berat minimal 10 gram tidak
boleh kurang jika tidak sesuai dengan
perysaratan tersebut pihak perempuan tidak akan menerima famo’ danga yang
diberikan oleh pihak laki-laki, dan tidak mau mnyerahkan anaknya unutk
dinikahi, meskipun famo’o danga tersebut diganti dengan uang atau pemberian
lain dalam jumlah yang jauh lebih besar dari nilai famo’o danga tersebut.
Dari berbagai informasi yang penulis
peroleh dari masyarakat Desa Fondrako Raya, famo’o danag memiliki pengaruh yang
sangat penting dalam pelaksanaan pernikahan di Desa Fondrako Raya bahkan dapat
dikatakan FAMO’O DANGA ini sebagai kunci utama berlangsungnya pernikahan di
Desa Fondrako Raya, jika mahar lain dapat ditukar dengan uang atau dalam bentuk
lain tetapi FAMO’O DANGA tidak dapat ditukar dengan apapun.
Berdasarkan latar belakang tersebut
di atas, penulis ingin mengadakan penelitian di Desa Fondrako Raya, Kecamatan
ULUSUSUA dengan judul “Makna Famo’o Danga Bagi Masyarakat Desa Fondrako Raya
Kecamatan Ulususua Pada Upacara Adat Pernikahan.
B. FOKUS
PENELITIAN
Menurut Arikunto (2002:22) bahwa,
Apa bila telah diperoleh informasi
dari studi pendahuluan/ suatu exploratoris, maka masalah yang akan diteliti
menjadi jelas. Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan baik, peneliti harus
menetukan fokus penelitian, sehingga jelas darimana harus dimulai, kemana harus
pergi dan dengan apa.
Berdasarkan pendapat diatas maka
fokus penelitian sangat sangat penting dilakukan supaya masalah yang diteliti
lebih terarah, dan sekaligus mempermudah proses pengkajian dan menghindari
kemungkinan penyimpangan masalah penelitian,
Maka fokus penelitian pada penelitian ini adalah,
1. Apa makna Makna famo’o danga bagi
masyarakat desa fondrako raya kecamatan ulususua Pada Upacara Adat Pernikahan?
2. Bagaimana Kriteria famo’o danga yang
berlaku di masyarakat desa fondrako raya kecamatan ulususua Ulususua Pada
Upacara Adat Pernikahan?
3. Mengapa famo’o danga tidak dapat
ditukar dalam bentuk uang atau dalam bentuk lainya meski dangan harga yang
lebih besar ?
C. Tujuan
Penelitian
Tujuan
dari penelitian adalah:
1. Untuk menganalisis Makna famo’o
danga bagi masyarakat desa fondrako raya kecamatan ulususua Pada Upacara Adat
Pernikahan
2. Untuk mengetahui bagaiman kriteria famo’o
danga yang berlaku di masyarakat desa fondrako raya kecamatan ulususua Ulususua
Pada Upacara Adat Pernikahan
3. Untuk mengetahui alasan masyrakat desa
fondrako raya kecamatan ulususua Ulususua, Mengapa famo’o danga tidak dapat
ditukar dalam bentuk uang atau dalam bentuk lainya meski dangan harga yang
lebih besar.
D. Manfaat
Penelitian
Manfaat
yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1. Bagi generasi penerus di desa
fondrako raya: sebagai bahan referansi untuk mempertahankan budaya leluhur
2. Bagi peneliti: diharapkan dapat
memberi sumbangan pada penelitian lebih lanjut dan memperkuat serta menambah
wawasan sekaligus kreatifitas dalam penulisan karya ilmiah.
3. Bagi STKIP: sebagai bahan referensi
di STKIP Nias Selatan terutama pada program studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra
Indonesia.
BAB
II
LANDASAN
TEORI
A.
Budaya
1. Pengertian
Budaya
Kata budaya
berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah yang mempunyai arti bahwa
segala sesuatu yang ada hubungannya dengan akal dan budi manusia. Secara
harafiah, budaya adalah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat
yang diwariskan secara turn temurun kepada generasi berikutnya. Adapun perbedaan
antar agama,suku, politik, pakaian, lagu, bahasa, bangunan, maupun karya seni
itu akan membuat terbentuknya suatu budaya.
Menurut
Soelaiman Soemardin dan Selo Soemadjan menerangkan bahwa suatu kebudayaan
merupakan buah atau hasil karya cipta dan rasa masyarakat. Suatu kebudayaan
memang mempunyai hubungan yang amat erat dengan perkembangan yang ada di
masyarakat. Seorang arkeolog, R. Soekmono menerangkan bahwa budaya adalah hasil
kerja atau usaha manusia yang berupa benda maupun hasil buah pikiran manusia
dimasa hidupnya. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya adalah
hasil karya, cipta dan rasa yang dihasilkan pikiran manusia.
Dalam bahasa
inggris, kebudayaan adalah kulture, bersal dari kata culere (bahasaYunani) yang
berarti mengerjakan tanah. Dengan mengerjakan tanah manusia mulai hidup dengan
menghasikan makanan (food producing). Hal ini berarti, manusia manusia telah
berbudi daya dengan mengerjakn tanh karena telah meninggalkan kehidupan yang
hanya menmungut hasil alam saja (food gathering).
Pemilihan
defenisi kebudayaan yang tepat sangat sukar karena begitu banyak orang yang
mendefinisikannya. Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Supartono widyosiswono
(1995: 31) budaya adalah “buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan
manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam zaman (kodrat dan masyarakat)”
yang merupakan bukti kejaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan
dan kesukaran dalam hidup dan penghidupnya guna mencapai keselamatan dan
kebahagian yang pada akhirnya bersifat tertib dan aman. Sedangkan Menurut
Koentjoroninggrat, budaya bereti “ keseluruhan gagasan dan karya manusia yang
harus dibiasakan dengan hasil belajar serta keseluruhan dari hasil budi
pekertinya.
Menurut Dr.
H. Th. Fischer dalam Supartono (1995:32)ada sejumlah faktor yang mempengaruhi
kebudayaan antara lain,
a). Faktor
kitaran geografis (lingkungan hidup)
Faktor
lingkungan fisik lokasi geografis merupakan corak suatu budaya. Dengan kata
lain faktor kitaran geografis merupakan determinasi yang berperan besar dalm
pembentukan suatu kebudayaan. Hal ini bisa diterima secara logika, karena
wilayah Nias Selatan yang keadaan alamnya yang terbentuk dari bukit-bukit
sempit dan terjal serta pegunungan tinggi diatas permukaan laut bervariasi
antra 0-800m, terdir dari dataran rendah sampai bergelombang mencapai 24%, dari
dataran rendah sampai berbukit- bukit 28,8%, dan dari berbukit- bukit sampai
pegunungan 51,2% dari keseluruhan luas daratan (berdasrkan hasil survei BPS
Nias Selatan tahun 2009), memaksa masyrakat sertempat mencari nafkah dengan
bertani dan berternak. Dari hasil pertanian dan peternakan inilah masyarakat
Nias Selatan pada umunnya memberikan mahar (Bowo) dalam bentuk hewan atau hasil
pertanian, salah satu contohnya masyarakat Nias Selatan memberikan Babi sebagai
Bwo.
b). Faktor
induk bangsa
Ada dua
pandangan yang berbeda mengenai faktor induk bangsa ini, yaitu pandangan barat
dan pandangan timur. Pandangan barat berpendapat bahwa perbendaan induk bangsa
dari beberapa kelompok masyrakat mempunyai pengaruh terhadap corak kebudayaan
oleh karena itu bangsa- bangsa yang berasal dari dari ras caucasoid dianggap
lebih tinggi dari ras lain. Namun pandangan timur berpendapat bahwa peranan
induk bangsa bukanlah sebagai fakotr yang mempengaruhi kebudayaan. Kenyataannya
dalam sejarah, budaya timur sudah lebih dulu lahir dan cukup tinggi justru pada
sat bangsa barat masih tidur dalam kegelapan.
b. Faktor
saling kontak antar bangsa
Hubungan
antar bangsa yang makin mudah akibat sarana perhubungan yang makin sempurna menyebabkan
suatu bangsa mudah berhubungan dengan bangsa lain. Akibat adanya hubungan antar
bangsa ini, dapat atau tidaknya suatu
bangsa mempertahankan kebudayaannya tergantung dari pengaruh kebudayaan asing.
2.
Sifat- sifat kebudayaan
Menurut Supartono (1995:37) ada beberapa sifat sifat kebudayaan antaralain,
a). Kebudayaan beraneka ragam
b). Kebudayaan dapat diteruskan secara sosial dengan pelajaran
c). Kebudayaan dijabarkan dalam komponen- komponen biologi, psikologis, dan
sosiologi.
d).kebudayaan mempunyai struktur
e). Kebudayaan mempunyai nilai
f). Kebudayaan mempunyai sifat statis dan dinamis
g). Kebudayaan dapat dibagi kedalam bermacam- macam bidang dan aspek.
Dari berbagai sifat diatas,
kebudayaan di Nias Selatan Khususnya di desa Fondrko raya juga memiliki sifat
yang sama sesuai yang dengan diterterakan di atas. Salah satu budaya yang ada
di desa fondrako raya adalah Böwö Fam ö’ö
Danga, yang akan menjadi bahan penelitian penulis.
B.
Böwö
1 . Pengantar.
Masyarakat Nias memiliki salah satu adat-istiadat
yang disebut dengan “bowo”.
Masayarakat nias sangat menjunjung tinggi dan menghormati Bowo bahkan menjadi suatu kewajiban dalam adat perkawinan, karena
bowo merupakan salah satu kesempatan dalam menjalin hubungan kekeluargaan yang
sangat erat antara kedua belah pihak mempelai. Bowo terjadi pada saat mulai pertungan hingga pesta pernikahan
berakhir.
Bowo sebagai
tuntutan atau syarat yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak mempelai. Dalam
hal ini, bowo juga berkaitan erat
dengan proses terjadinya pernikahan, karena
bowo merupakan hal utama yang dibicarakan dalam pernikahan. Bagaimana
terjadi bowo serta aplikasinya dalam
proses perkawinan serta dampak dalam kehidupan masyarakat Nias dan tanggapan
public, akan diuraikan dibawah.
2
. Defenisi Bowo (jujuran/Mahar).
Secara etimologi kata Böwö berasal dari bahasa Nias yang
artinya hadiah pemberian yang Cuma- Cuma. Sama halanya kita memiliki kegiatan,
entah karena ada tamu atau ada pesta keluarga kita memberikan fenegero kepada
tetangga baik nasi maupun lauk-pauk yang kita makan saat kegiatan saat itu,
kita beri juga pada tetangga kita secara Cuma-Cuma (Samudra Zendratö, 2014:135). Böwö dalam
terjemahan bahasa indonesia disebut juga mahar. Menurut KBBI, Mahar adalah
pemberian wajib berupa uang dan barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai
perempuan ketika dilangsungkan akad nikah atau mas kawin.
Böwö (masi-masi) dalam definisi bahasa nias ialah “bukti kasih”. “Böwö
adalah ungkapan kasih (masi-masi), amuata sisökhi (perbuatan
baik), famolakhömi (pemuliaan/pengagungan), fasumangeta (penghormatan),
nibe’e fao fa’ahele-hele dödö (pemberian penuh ikhlas hati), tenga
nifaso ba tenga siso sulö (bukan dipaksa dan tanpa menuntut balasan)”.
Maksudnya pihak laki-laki yang mengambil istri dari keluarga lain harus memberi
böwö, sebagai tanda kasih kepada pihak
perempuan. Dan pihak perempuan dengan meminta böwö menunjukkan penghargaan dan cinta mereka kepada putrinya,
sehingga tidak boleh begitu saja pindah ke rumah calon suaminya tanpa bukti böwö Jadi, jujuran adalah suatu sikap
yang baik antara kedua belah pihak keluarga yang mengikat tali kekeluargaan
sebagai keluarga yang terjadi karena perkawinan antara kedua mempelai.
Dari pendapat diatas dapat
disimpulkan bahawa böwö berati bukti kasih seseorang,
perbuatan baik, penghormatan, pemberian tanpa dipaksa dan tidak mengharapkan
balasan yang dilakukan oleh pihak laki- laki
kepada pihak perempuan.
Berikut ini ada beberapa pengertian
dari böwö,
a
. Bowo dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut juga mahar. Menurut KBBI,
Mahar adalah pemberian wajib berupa uang dan barang dari mempelai laki-laki
kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah atau maskawin.
b
. Bowo (masi-masi) dalam defenisi
bahasa Nias adalah “bukti kasih” bowo
adalah ungkapan kasih (masi-masi), amuata sisokhi (perbuatan baik), famolakhomi (pemuliaan/pengagungan), fasumangeta (penghormatan), nibe’e
fao fa’a hele-hele dodo (pemberian penuh ikhlas hati), tenga nifaso batenga siso sulo (bukan dipaksa dan tanpa menuntut
balasan)”. Maksudnya pihak laki-laki yang mengambil istri dari kelurga lain
harus memberi Bowo, sebagai tanda
kasih kepada pihak perempuan. Dan pihak perempuan dengan meminta Bowo
menunjukan penghargaan dan cinta mereka kepada putrinya, sehingga tidak
boleh begitu saja pindah kerumah calon suaminya tanpa bukti Bowo. Jadi, jujuran adalah suatu sikap
yang baik antara kedua belah pihak keluarga yang mengikat tali kekeluargaan
sebagai keluarga yang terjadi karena perkawinan antara kedua mempelai.
3
. Latar belakang terjadinya “ Bowo”.
Dalam mitos dikatakan, bahwa ada seorang
raja yang bernama raja sirao yang memiliki Sembilan orang putera. Seorang
diantara peteranya itu bernama balugu luo
mewona menjadi pewaris kerajaan
menggantikan ayahnya. Ia dinobatkan setelah memenangkan sayembara, yakni
sanggup berdiri dan menari diatas unjung tombak barusa sebagai syarat mutlak untuk menjdi pewaris tahta kerajaan
seorang diantara putera sirao.
Seorang
diantara putera sirao yang telah gagal memenangkan sayembara tersebut yang
bernama hia walangi adu. Ia
diturunkan ke bumi (pulau nias), dan ia tinggal di gomo. Kepadanya diberi kuasa
dan kewajiban khusus, yakni menerapkan pelbagai hukum dan peraturan kepada kaum
kerabatnya. Penugasan itu bertujuan agar dibumi tetap terpelihara suatu tatanan
hidup yang harmonis, damai dan sejahtera. Karena itu kepadanya diserahkan alat
ukuran yang disebut (afore), takaran
(lauru), dan timbangan emas (faliera). Ketiga jenis ukuran ini
merupakan symbol symbol norma dan kidah tinggkahlaku bagi manusia dibumi.
Symbol tersebut mendapat penjabarannya dalam musyawarah agung, yang disebut
dengan fondrako. Bowo berkaitan erat dengan fondrako, sebab Bowo yang diyakini sebagai bagian dari pemberian
ilahi kepada nenek moyang terdahulu, ketiga alat pengukur itu menjadi sarana
untuk menetapkan hukum dan musyawarah agung yang disebut dengan fondrako.
Bowo
dengan fondrako tak dapat dipisahkan
karena diyakini sebagai pemberian ilahi kepada nenek moyang terdahulu. Akhirnya
alat pengukur tersebut , menjadi sarana untuk menetapkan hukum dan peraturan
yang akan diberlakukan. Fondrako adalah
penetapan yang didasari dengan sumpah, serta mengandung kutuk bagi yang melangarnya. Segala aturan,
adat-istiadat, dan hukum yang akan diberlakukan harus diputuskan berdasarkan
dan melalui musyawarah fondrako. Dalam
musyawarah tersebut, para kepala kampung, pengetua desa, dan kaum bangsawan
yang memerintah merebukkan penafsiran hokum adat. Afore, Lauru, Fali’era
dikalkulasikan sedemikian rupa pada kesempatan itu, untuk menemtukan hukuman
atau sangsi atas peristiwa pelanggaran hokum dan juga dalam urusan mas kawin.
Karena itu, hukum dan adat sebagai hasil musyawarah bersama. Bowo yang
ditetapkan dalam fondrako dilaksanakan secara konkrit dalam proses adat
perkawinan.
4
. Empat tahap dalam upacara perkawinan masyarakat Nias, yaitu:
a
. Tahap meminang, yang terdiri dari upacara mengantar emas pertunangan (mamebola) dan upacara pengembalian kantong tikar (famuli mbola).
b
. Tahap penentuan hari pernikahan (fagoto
mbongi) yang didalamnya juga dibicarakan besaran mas kawin.
c
. Upacara nikah (fangowalu)
d
. Upacara menjenguk orang tua (famuli
nukha).
1).
Tahap meminang yang terdiri dari upacara mengantar emas pertunagan (mamebola) dan upacara pengembalian
kantong tikar (famuli bola).
Membicarakan
tentang Bowo perlu dimulai dari
tingkat pertunangan. Gagasan perkawinan diprakarsai oleh orang tua laki-laki.
Setelah orang tua mengambil keputusan bahwa mereka perlu mengembangkan hubungan
dekat dengan salah satu anggota kerabat mereka tertentu, maka jalan yang paling
mudah adalah mengusulkan agar anak laki-laki mereka dipertungankan dengan anak
gadis keluarga tersebut. Ini berarti bahwa pertunangan bukanlah pertama-tama
urusan seorang anak laki-laki dan anak gadis melainkan urusan orang tua kedua
belah pihak. Tingkat tunangan mulai diatur disaat orang tua laki-laki menyuruh seorang wanita yang berumur
bertindak sebagai pesuruh atau perantara untuk
menyampaikan pesan kepada orang tua gadis. Wanita berumur itu akan
membawa sirih dan menyampaikannya kepada orang tua si gadis seraya
memperkenalkan bahwa dia telah disuruh untuk mengatakat sesuatu pesan, yaitu
urusan tunangan. Jikalau oaring tua si gadis menerima dan menyetujui usulan
pertungan itu maka mereka akan mengatur waktu untuk upacara pertungan resmi
yang disebut famatuasa.
Setelah
bulat mufakat dari pihak laki-laki, maka mereka mencari seorang laki-laki yang
pandai berkata-kata yang akan menyampaikan pesan kepada pihak si perempuan.
Orang yang berlaku sebagai pengantara dari pihak laki-laki disebut sio, sedangkan pengantara dari pihak si
perempuan disebut samatoro. Sio
adalah salah seorang dari kaum kerabat pihak laki-laki sedangkan samatoro
adalah salah seorang dari kaum kerabat pihak perempuan. Sio dan samatoro yang
menentukan apabila akan beremu
melangsungkan pertunangan (famatuasa
yang di sebut juga fanunu manu). Kedua pihak penduduk mempelai hadir saat
itu. Hal-hal yang dibawah oleh pihak laki-laki saat bertunangan antara lain:
a).
Sebuah sumpit yang bagus berisi sirih (bola
helu), yang aka diserahkan oleh mempelai lak-laki kepada mertuanya
perempuan (sirih itu adat yang terutama
di Nias sampai saat ini).
b).
Seekor babi jantan besarnya 4 alisi. Babi itu untuk dipotong, diolah, dan
dinikmati oleh kedua belah pihak saat pertunangan.
c).
Emas atau uang sebagian dari jujuran.
C. Fam ö’ö Danga
1.
Pengertian
Fam ö’ö
Danga
Kata Böwö Fam ö’ö
Danga dalam bahasa nias terdiri dari dua kata yaitu “Fam ö’ö” yang artinya pembuka
dan “danga” yang artinya tangan, sehingga pengertian dari
gabungan kata tersebut adalah pembuka telapak tangan. Tidak semua daerah di
nias menggunakan istilah böwö Famö’ö
danga, pada umumnya yang menggunakan istilah ini adalah
nias bagian tengah, khususnya kecamatan ULUSUSA, desa FONDRAKÖ RAYA.
Fam ö’ö
Danga merupakan böwö
yang memiliki peranan penting bagi masyarakat daerah kecamatan yang penulis
sebutkan diatas tanpa Fam ö’ö
Danga pernikahan tidak akan pernah bisa dilangsungkan.
2.
Ciri-
ciri Fam ö’ö
Danga
Ciri-
ciri Fam ö’ö
Danga yang berlaku di daerah yang penulis sebutkan di
atas adalah sebagai berikut:
1. Emas
24 karat murni
2. Berat
minimal 10 gram
3. Bentuk
(kalung, cincin)/ tidak boleh batangan.
D.
Pernikahan
1.
Pengertian
pernikahan
Setiap orang menganggap bahwa pernikahan adalah hal yang sangat
sakral, anggapan itu muncul dikarenakan apa yang dilakukan dalam pernikahan hanya sekali dalam seumur
hidup. Meski belum tentu juga seseorang insan melakukan pernikahan hanya sekali, ada yang dua kali, tiga kali melakukan
pernikahan, bahkan ada yang berkali-kali melangsungkan sebuah pernikahan.
Alasan melakukan pernikahan berkali-kali aneka ragam,
ada yang kembali melakukan pernikahan karena perceraian atau ketidak cocokan
pasangan ketika sudah melakukan pernikahan, ada yang meninggal dunia atau
karena ada alasan lain yang menyebabkan seseorang melakukan pernikahan kembali,
termasuk di dalamnya karena alasan perselingkuhan.
Menurut Thalib (1980),
mendefenisikan pernikahan sebagai suatu perjanjian suci, kuat dan kokoh untuk
hidup bersama secara sah antara seoarang laki-laki dengan seorang perempuan
untuk membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih-mengasihi,
tentram dan bahagia.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 (Pasal 1), pernikahan diartikan sebagai ikatan lahir dan batin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan
membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia lahir maupun batin dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian dapat diartikan bahwa
pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang
perempuan untuk waktu yang lama dan disahkan secara undang – undang serta agama.
2.
Upacara
pernikahan Adat Nias (fangowalu).
Pada malam (sehari sebelum perkawinan
dilangsungkan) pihak lak-laki beramai-ramai datang ke rumah orangtua mempelai
wanita dengan membawa dua ekor babi untuk pesta perkawinan itu. Besar babi itu
menurut Bosi atau derajat bapak si
perempuan dalam adat. Boleh lebih besar tetapi tak boleh kurang. Bagi orang
yang derajatnya (bosinya) tinggi terdiri dari 3-4 lebih besar tetapi tak boleh
kurang. Bagi orang yang derajatnya (bosinya) tinggi terdiri dari 3-4 ekor babi.
Babi yang di bawa itu adalah babi pilihan dan tidak bercacat yakni: babi
jantan, telinganya tidak boleh terpotong atau terbelah, ekornya tidak
berkudung, taringnya tidak boleh patang.
Apabila
tidak sesuai menurut ketentuan diatas , maka bapak dari mempelai laki-laki itu
akan di hukum secara adat. Pada malam itu juga, kalau boleh jujuran
diselesaikan pembayarannya supaya
besoknya acara perkawinan, pihak si perempuan mengundang orang se-kampungnya
dan sanak saudaranya. Yang harus dan wajib di undang ialah ibu dari perempuan
gadis yang nikah itu. Dalam bahasa Nias
ibu itu di sebut “uwu”.
Tepat
pada hari perkawinan, calon pengantin laki-laki (mengenakkan jas dan kacamata
hitam, diarak dari rumahnya menuju rumah penggantin perempuan. Arak-arakan
diiringi dengan tabuh-tabuhan yang panjang. Kedatangan mempelai laki-laki ke
rumah mertuanya saat hari perkawinan, diiringi oleh orang banyak dengan memukul
canang dan bunyi-bunyian yang lain. Orangpun sepanjang jalan menunjukkan
kegmbiraannya dengan bernyanyi cara adat yang disebut dalam bahasa Nias boli hae. Seorang yang menyanyikan syair
lagu dengan berduyun-duyun serta memuji-muji orangtua dan kampung perempuan
itu.
Calon
penggantin laki-laki itu di temani oleh sejumlah besar kaum kerabatnya dan
segenap masyarakat anggota desa, laki-laki dan perempuan yang biasa
disebut sangai niha (penjemputan pengantin wanita) berangkat ke tempat
orangtua pengantin wanita. Setibanya dihalaman rumah, pengantin pria disambut
oleh wakil keluarga pihak pengantin wanita. Penyambut itu dilakukan secara
adat, sambil memukul gong dan bunyi-bunyian yang lain. Setelah itu
dipersilahkan duduk. Disitulah dilakukan adat, laowai (tanda kehormatan sebagai pemberian salam), lalu disajikan
sirih (labe’e nafo) dan disediakan
makanan dan daging babi sebagai so’i
mbowo.
Penyerahan
itu dilakukan dengan lagu. Lalu terjadi pembicaraan dalam bentuk
sambutan-sambutan. Sambutan oleh pihak perempuan diawali oleh tarian famolaya (tari elang) lalu
dikumandangkan semacam pantun oleh pihak pengantin laki-laki. Isi pantun itu
biasanya merendahkan diri dan menyanjung pihak lainnya. Demikianlah prose itu
berlangsung 1-2 jam. Sementara itu di dapur pihak perempuan mempersiapkan
jamuan untuk para tamu yang jumlahnya mencapai 200-an orang. Sampai tahap ini
pengantin perempuan rumah pengantin perempuan. Kemudian bersidanglah
ketua-ketua adat kedua kampung mempelai itu dihalaman. Hal yang dilakukan saat
itu antara lain:
Fanika
e’ra-e mbowo (menyelesaikan jujuran).
Famotu
sangowalu (memberi nasehat pada mempelai terutama cara mana ia harus berlaku
dalam hal berlaki-bini terlebih dalam adat).
Memberi
gelar pada perempuan. Gelar itu bertingkat-tingkat, yaitu: Tuho mbarasi, Fili
gana’a. Hadi Zau\’uso, Lehe wiro dan lain-lain.
Setelah
pembicaraan adat diatas yang disebut orahu selesai, maka pengantin perempuan di
keluarkan dari dalam rumah. Ia mengenakan kebaya merah dan bersanggul. Ia
dibawa keluar dari rumah dengan didukung oleh ibunya atau saudaranya dan
diserahkan kepada pihak mempelai laki-laki. Pengantin wanita akan diberkati
oleh ayah, saudara laki-laki ibunya dan kakek-kakeknya sebelum ia meninggalkan
rumah orangtuanya. Ayah dan saudara laki-laki ibu dan anggota kaum kerabat lain
yang telah memperoleh bagiannya dari emas jujuran akan memeberi hadiah bagi
pengantin perempuan. Hadiah ini disebut masi-masi. Hadiah disebut antara lain
seperti babi betina, alat-alat tempat tidur, tempat pakaian, perhiasan emas,
dan barang lainnya.
Puncak acara perkawinan adalah ketika
pengantin perempuan hendak dibawa pulang oleh pihak pengantin laki-laki.
Nyanyian yang semula hingar-bingar mendadak sendu. Satu persatu anggota
keluarga bernyanyi, ditunjukan bagi pengantin perempuan. Banyak hadirin yang
berlinang air matanya. Pengantin perempuan ini dibawa dengan diusung (dipikul)
diiringi oleh orang banyak dengan memukul canang dan bernyayi-nyayi secara adat
Nias (faboli hae). Bila pengantin
wanita berangkat, ia ditemani oleh sejumlah laki-laki dan wanita dari pihak
orangtuanya. Para teman wanita ini disebut samuli
niha (pengantar pengantin) dan laki-laki disebut sifaohi yang secara harafiah berarti pengejar dari belakang.
Istilah ini mengandung pengertian seolah-olah anak gadis mereka dicuri oleh
musuh, lalu mereka mengejar dari belakang. Pengejaran dari belakang bisa
terjadi bila si pengantin laki-laki berasal dari desa lain atau perkawinan
antara desa.
Pada
saat mempelai wanita itu tiba dihalaman rumah mertuanya, maka si istri disambut
oleh keluarga laki-laki. Wajah pengantin perempuan menyiratkan kesedihan yang
mendalam. Kedua tanganya dipegang/dibimbing supaya ia masuk kedalam rumah, kemudian
ditempatkan pada tempat duduk yang terhormat yang disebut dengan “sinata” atau disebut juga lafedadao baro zangehowu. Seketika itu
juga pengantin itu disuruh mengampuri sirih (ibidi
nafo).
Sirih
yang mula-mula dikapurinya itu, diberikan kepada pengantin laki-laki untuk
dimakan oleh calon suaminya , adakalanya juga didudukinya. Demikianlah sirih
yang lain yang dikapurinya diberikan kepada mertuannya, baru kepada orang lain.
Seorang anak laki-laki, umpamanya anak saudara mempelai anak laki-laki itu,
yang sehat, apalagi jika rupanya tampan, elok dan tak pernah ada saudaranya
yang meninggal. Maka putra tersebut didudukkan pada pangkuan pengantin
perempuan itu seraya berkata: “hono nono
bahalama, liwu nono ba mbanua, ono matua za’a nono kho ni’o walu”. Artinya
kembangkanlah keturunan dan anaknya yang sulung hendaklah anak laki-laki.
Perkawinan
kedua mempelai ini dimateraikan dengan:
Dengan
penyembelihan babi perkawinan di depan rumah pengantin laki-laki.
Perkawinan
di materaikan juga oleh janji antara pengantin laki-laki dan perempuan bahwa
mereka tidak akan berpisah, kecuali kematian. Upacara terakhir ini dilakukan di
depan pendeta di gereja. Sebelum masuknya kekristenan di Nias deklarasi janji
ini dilaksanakan dibawah banyangan patung nenek moyang, dimana imam agama kuno
sekaligus memberkati kedua pengantin.
Dua
hari setelah hari perkawinan berlangsung , datanglah ibu dari pengantin
perempuan ke rumah laki-laki. Dibawanya nasi dan daging babi dibungkus dengan
baik atau diletakkan diatas piring kuno yang bagus. Sesampai di rumah dan ibu
tersebut disambut oleh pihak laki-laki. Kedua mempelai memakan-makanan itu
(pengantin perempuan biasanya disuapin). Tamu besar itu dijamu dengan memotong
dengan seekor babi dan seekor lagi untuk
dibawa.
Setelah
itu, orangtua mempelai mengadakan pesta yang seolah-olah menghormati menantunya
itu. Semua kaum dan orang kampungnya diundang saat itu, dipotong beberapa babi
menurut derajat dan keadaanya dikampung tersebut. Jika orang beradab atau
bangsawan memotong babi sebanyak 50-60 ekor. Pesta ini disebut “Taho dodo” atau disebut juga fangaruwu.
Setelah
pesta taho dodo, kaum kerabat kedua belah pihak akan memanggil pengantin baru
kerumah mereka masing-masing. Pengantin baru, ditemani oleh sejumlah laki-laki
dan wanita akan diundang makan sambil memberikan hadiah seperti anak babi,
ayam, uang bahkan juga emas dan materi lainya agar kelak bisa digunakan oleh
kedua pengantin sebagai modal permulaan untuk membangun rumah tangga. Pada
kesempatan ini kaum kerabat akan memberiakan nasihat-nasihat yng bermafaat
misalnya bagaimana cara mengurus rumahtangga, bertanggungjawab terhadap
keluarga, bagaimana melayani tamu, bagaimana menarik perhatian anggota
keluarga.
E.
Masyarakat
Desa
a.
Pengertain
Masyarakat Desa
Secara awam
masyarakat desa sering diartikan sebagai masyarakat tradisional dari masyarakat
primitif (sederhana). Namun pandangan tersebut sebetulnya kurang tepat, karena
masyarakat desa adalah masyarakat yang tinggal di suatu kawasan, wilayah,
teritorial tertentu yang disebut desa. Sedangkan masyarakat tradisional adalah
masyarakat. yang menguasaan ipteknya rendah sehingga hidupnya masih sederhana
dan belum kompleks. Memang tidak dapat dipungkiri masyarakat desa dinegara
sedang berkembang seperti Indonesia, ukurannya terdapat pada masyarakat desa
yaitu bersifat tradisional dan hidupnya masih sederhana, karena desa-desa di
Indonesia pada umumnya jauh dari pengaruh budaya asing/luar yang dapat
mempengaruhi perubahan-perubahan pola hidupnya.
b.
Ciri-
ciri Masyrakat Desa
Adapun
ciri-ciri masyarakat desa antara lain :
1.
Anggota komunitas kecil
2.
Hubungan antar individu bersifat kekeluargaan
3.
Sistem kepemimpinan informal
4.
Ketergantungan terhadap alam tinggi
5.
Religius magis artinya sangat baik menjaga lingkungan
dan menjaga jarak dengan penciptanya, cara yang ditempuh antara lain
melaksanakan ritus pada masa-masa yang dianggap penting misalnya saat
kelahiran, khitanan, kematian dan syukuran pada masa panen, bersih desa.
6.
Rasa solidaritas dan gotong royong tinggi
7.
Kontrol sosial antara warga kuat
8.
hubungan antara pemimpin dengan warganya bersifat
informal
9.
Pembagian kerja tidak tegas, karena belum terjadi
spesialisasi pekerjaan
10. Patuh
terhadap nilai-nilai dan norma yang berlaku di desanya (tradisi)
11. Tingkat
mobilitas sosialnya rendah
12. Penghidupan
utama adalah petani.
BAB
III
METODE
PENELITIAN
A.
Pendekatan Dan Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan oleh
peneliti pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif karena peneliti hendak membuat penggambaran
secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta budaya di daerah
Desa Fondrako Raya kecamatan Ulususua, kabupaten Nias Selatan. penulis ingin
mendeskripsikan makna budaya böwö Fam ö’ö
Danga yang memiliki peranan penting untuk pelaksanaan
pernikahan adat di desa Fondrakö raya, kecamatan Ulususua, kabupaten Nias Selatan.
karena budaya böwö Famö’ö
danga
hanya berlaku di daerah tersebut dan sekitarnya, dengan kata lain budaya böwö Famö’ö
danga
bukan merupakan budaya yang berlaku untuk sebagian wilayah di Nias Selatan.
B.
Lokasi
Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa
Fondrako Raya Kecamatan Ulususua Kabupaten Nias Selatan. Daerah ini berada
sekitar ± 40 km dari kota Telukdalam, sebelah timur brbatasan kecamatan
Lolowa’u, sebelah barat berbatasan dengan kecamatan susua, sebelah utara
berbatasan dengan kecamatan Lolomatua, dan sebalah barat berbatasan dengan kecamatan Amandaraya. Kecamatan ulususa merupakan
kecamatan pemekaran dari kecamatan Amandraya daerah ini merupakan hulu dari
sungai susua yang ada di Nias Selatan. Mata pencarian masyrakat setempat adalah
bertani, bercocok tanam, daerah kecamatan ulususa masuk pada kategori daerah
pedalaman karena daerah ini sangat jauh dari ibu kota kabupaten Nias Selatan. Alasan
pemilihan lokasi tersebut karana di daerah
tersebut belum pernah dilakukan penelitian ilmiah mengenai makna budaya
mesyarakat setempat, selain itu alasan peneliti memilih lokasi tersebut
C.
Kehadiran Peneliti
Untuk mendapatkan data-data yang valid
dan objektif terhadap penelitian yang akan dilakukan maka kehadiran peneliti
dalam penelitian ini sangat mutlak diperlukan, Oleh karena itu, peneliti
mekakukan pengamatan langsung terhadap kegiatan-kegiatan yang akan diteliti.
Kehadiran peneliti sangat menentukan hasil penelitian, maka untuk mendapatkan
informasi yang valid, peneliti melakukan interaksi komuniksasi secara langsung
dalam bentuk wawancara terhadap narasumber yangtelah peneliti tantukan,
kemudian meneliti menarik kesimpulan dari hasil wawancara tersebut.
Yang menjadi istrumen
pada penilitian ini adalah peneliti sendiri.
D.
Sumber Data
Sumber data penelitian ini terdirir
dari data primer yaitu data yang langsung diperoleh lansung dari responden
penelitian yakni tokoh adat dan penatua adat desa fondrakö raya, dan data sekunder yakni yang
diperoleh melalui orang lain (bukan responden penelitian) Istilah sarumaha (Ama
Murni Sarumaha),
E.
Prosedur Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data
yang peneliti gunakan pada penelitian ini yaitu wawancara secara langsung.
Kegiatan wawancara dilakukan kepada para tokoh adat dan penatua adat desa fondrakö raya, tentang makna famö’ö danga bagi masyarakat desa fondrakö raya.
Yang menjadi nara sumber pada
penelitian ini adalah tokoh adat desa fondrakö raya yang memiliki
peranan penting dalam lingkungan masyarakat desa fondrakö raya dan telah memalakukan
pegelaran pesta adat yang besar untuk memperolah gelar adat, ada parah tokoh tersebut
adala sebagai
berikut :
1)
Aro
zisköhi Giawa,
dengan gelar adat Söfu ma’ifu
2) Sökhi atulö Giawa, dengan gelar adat Saefa nitaya
3)
Duhu
aro Halawa, dengan gelar adat Siwa falali
4)
Haogö Maifu Giawa, dengan gelar adat Balö
ofecu
5)
Omasi’ ö Laia, dengan gelar adat Fandrugamaoso
6)
Tali
fao Ndruru, dengan gelar adat Maera nitaya
7)
Dali
zidu Laia, dengan gelar adat samaeri nahönö
8)
Asa aro Giawa, dengan gelar adat Tuha sanuwu zato
9)
Börö
ziduhu Bu’ulölö, dengan gelar adat Balö zatarö
10) Sumangeda
Halawa, dengan
gelar adat Balö zihönö
F.
Analisis Data
Analisis
data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh
dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit,
melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola memilih mana yang penting dan yang
akan dipelajari, dan membuat simpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri
maupun orang lain. Maka pada penelitian ini peneliti melakukan wawancara secara
langsung dilapangan kepada tokah adat dan beberapa masyarakat kecamatan
Ulususua guna memperoleh data yang valid, untuk didokumentasikan secara
sistematis..
Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam
menganalisis data dengan analisis mengalir (flow
model of analysis) meliputi beberapa hal yaitu,
1.
Reduksi data (data reduction)
Pada langkah ini, data yang sudah diperoleh dicatat
kemudian dilakukan penyederhanaan data. Data-data yang dipilih hanya data-data
yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis, yaitu mengenai makna böwö Famö’ö
Danga bagi masyarakat desa fondrakö raya
kecamatan ulususua. Informasi-informasi yang mengacu pada permasalahan itulah
yang menjadi data dalam penelitian ini.
2.
Penyajian data (display data)
Pada langkah ini, data-data yang sudah ditetapkan
kemudian disusun secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data
tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh fenomenologi mengenai makna
budaya böwö Fam ö’ö
Danga bagi masyarakat desa fondrakö raya
kecamatan ulususua.Penarikan simpulan/verifikasi
Pada tahap ini dibuat simpulan tentang hasil dari
data yang diperoleh sejak awal penelitian. Simpulan ini masih memerlukan adanya
verifikasi (penelitian kembali tentang kebenaran laporan) sehingga hasil yang
telah diperoleh benar-benar valid.
3.
Penarikan
kesimpulan (verifikasi)
Pada tahap ini dibuat simpulan tentang
hasil dari data yang diperoleh sejak awal penelitian. Simpulan ini masih
memerlukan adanya verifikasi (penelitian kembali tentang kebebnaran laporan),
sehingga hasil yang telah diperoleh benar- benar valid. Ketiga langkah- langkah
tersebut saling berkaitan dan dilakukan secara terus menerus mulai dari awal,
saat penelitian berlangsung hingga sampai akhir penelitian.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Paparan
Data
Untuk
memperoleh data dalam penelitian ini, penelitian ini menggunakan metode
penelitian kualitatif dengan jenis penelitian fenomenologi. Penelitian Metode fenomenologi
digunakan untuk memahami, menggali dan menafsirkan arti dari peristiwa-
peristiwa, fenomena- fenomena dan hubungan dengan orang- orang dalam situasi
tertentu , dengan menggunakan pengamatan terhadap fenomena- fenomena atau
gejala- gejala sosial yang alamiah (nature) digunakan sebagai sumber data,
pendekatan ini berdasarkan kenyataan lapangan (empiris). Tujuan yang hendak
dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menemukan makna budaya böwö Famö’ö
Danga di desa fondrakö
raya kecamatan ulususua.
B.
Sejarah
Simgkat Böwö Famö’ö
Danga
Böwö Famö’ö
Danga telah dikenal masyarakat desa fondrakö raya sejak nenek moyang meraka
berada di fondrakö raya, Böwö Famö’ö
Danga ini telah dilakkuan oleh para leluhur, dan sampai saat ini hal itu masih
berlaku dan dilaksanakan oleh masyarakat desa fondrakö raya dalam setiap
acara adat pernikahan di desa tersebut. Böwö Famö’ö
Danga sejak dulu merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan acara adat
pernikahan di desa fondrakö raya, tanpa Böwö Famö’ö
Danga pernikahan tidak akan diterima oleh pihak prempuan.
C.
Bentuk/
Ciri-Ciri
Böwö Famö’ö
Danga
Böwö Famö’ö
Danga memiliki bentuk dan ciri yang telah ditentukan oleh masyarakat desa
fondrakö
raya, hal ini dibuat agar masyarakat/ generasi muda dengan tidak sulit
mengenali bentuk dan ciri dari Böwö Famö’ö
Danga yang berlaku di desa tersebut. Adapun bentuk/ ciri-ciri dari Böwö Famö’ö
Danga yang berlaku di desa fondrakö raya adalah sebagai berikut:
a. Bentuk,
Böwö
Famö’ö
Danga yang telah disiapkan oleh pihak laki-laki harus dalam bentuk cincin atau
kalung, tidak boleh dalam bentuk emas batangan.
b. Ciri-
cirinya adalah, emas 24 karat tidak diperbolehkan emas yang 22 karat maupun
yang18 karat, dengan berat minimal 10 gram btidak boleh kurang.
Proses
Penyerahan Böwö Famö’ö
Danga
Proses
penyerahan Böwö Famö’ö
Danga tidak dilakukan secara sederha tetapi dilakukan secara khusus, karena Böwö Famö’ö
Danga merupakan Böwö yang terakhir dibayar oleh pihak laki-
laki kepada pihak perempuan sebelum pengantin dibawa keluar dan diserahkan sama
pihak laki-laki.
Penyerahan
Böwö
Famö’ö
Danga kepada pihak perempuan dilakukan secara bersamaan dengan penyerahan
pengantin perempuan kepada pihak laki- laki, pada proses tersebut akan terlihat
secara jelas bahwa ada pertukaran antar pihak laki-laki dengan pihak perempuan,
seperti kita melihat orang melakukan pertukaran barang. Pada saat proses
pertukaran berlangsung pihak laki-laki menyerahkan Böwö Famö’ö
Danga yang telah disiapkan terlebih dahulu kepada pihak perempuan sambil
berkata “ ya’e mböli
fa’erege dödö u ba wondrorogö yai’a ma göi sitobali fondrara- ndrara dödö u, si tobali salahi mboto nono u”. “(ini imbalan untuk capek yang telah kamu
rasakan selam mengurus dia atau sebagai penghibur mu pengganti dirirnya)”. Maka
setelah menerima Böwö Famö’ö
Danga yang diberikan pihak laki- laki kepada pihak perempuan, pehak perempuan
menyerahkan pengantin wanita kepada pihak laki- laki sambil berkata “ ya’e mböli gana’a u, ya’e mböli bawiu, ya’e
mböli wirö u, ya’e mböli gokhöta u iraono sambö tödö, iraono sareu, lö nasa i’ila mohalöwö. Auri khöu, mate khöu, sökhi khöu, lö sökhi khöu”. “(ini beli emas mu, ini beli
perak mu, ini beli harta mu, anak yang belum dewasa, anak yang malas, belum
bisa kerja. Hidup mati ia milikmu, baik buruk dia milikmu)”.
Pada saat proses ini berlangsung
biasanya pengantin wanita akan menangis tersedu-sedu karena pada saat proses
itu berakhir maka berakhir pula kebersamaannya dengan keluarga tercintanya dan
dia akan memiliki keluarga baru yang keadaan dan situsinya sama sekali belum
dia kenal. Setelah proses ini terlaksana dengan baik maka pernikahan dianggap
sah oleh kelurga dan kerabat pihak perempuan dan pihak laki-laki berhak membawa
pengantin wanita ikut bersama dengan mereka.
D.
Peranan
Böwö Famö’ö
Danga
Böwö Famö’ö
Danga memiliki peranan yang sangt penting dalam pernikahan adat di desa fondrakö raya sehingga Böwö(mahar) ini nmenjadi ujung tombak
dari pelaksanaan pernikahan adat di desa fondrakö raya. Masyarakat setempat
berpendapat bahwa Böwö Famö’ö
Danga merupakn satu-satunya Böwö (mahar) yang tersisa untuk orang tua dari pengantin
perempuan, karena böwö yang lain diluar Böwö
Famö’ö
Danga akan habis dibagikan kepada saudara kandung dari pengantin wanita, kepada
saudara dari bapak pengantin wanita, kepada saudara dari ibu/ mama pengantin
wanita(sibaya/ sokhö) dan kepada orang sekampung/ kerabat
dari keluarga pihak pengantin perempuan(sering disebut Böwö ba mbanua).
Oleh karena itu Böwö Famö’ö
Danga merupakn Böwö yang sangat spesial atau Böwö(mahar) yang mamiliki peranan paling
penting bagi masyrakat desa fondrakö raya.
Karena perannya yang begitu penting
maka Böwö Famö’ö
Danga harus disiapkan pihak laki-laki sebelum acara parnikahan dilaksanakan,
jika tidak maka pihak perempuan akan menunda pernikahan sampai pihak laki-laki
mendapatkan Böwö Famö’ö
Danga yang telah ditetapkan pihak perempuan. Dan kerena peranannya itu pulalah
sehingga Böwö Famö’ö
Danga tidak dapat ditukar dalam bentuk apapun meski dengan nilai yang lebih
besar, sebab biasanya Böwö Famö’ö
Danga itu akan digunakan kembali ketika orangtua dari pihak perempuan akan
menikahkan anaknya yang laki-laki.
E.
Nilai
Yang Terkandung Pada Böwö Famö’ö Danga
Böwö Famö’ö
Danga bukanlah hanya sekedar mahar untuk nmenebus pengentin wanita dari
keluarganya, bagi masyarakat desa fondrakö raya Böwö Famö’ö
Danga mengandung beberapa niali yaitu:
1).
Nilai budaya, dari segi nilai budaya Böwö Famö’ö
Danga merupakan budaya yang diwariskan oleh para leluhur maysarakat desa
fondrakö
raya dan harus di patuhi serta dilestarikan.
2).
Nilai estetik, Böwö Famö’ö
Danga memiliki nilai estetik yang cukup tinggi di desa fondrakö raya, sebab bagi masyrakat setempat
emas merupakn benda yang paling indah dan mewah, karena itulah Böwö Famö’ö
Danga diharuskan dalam bentuk kalung atau cincin supaya dapat dipakai untuk
menghias diri.
3). Nilai sosial, Bagi maysarakat
desa fondrakö
raya jika pihak laki-laki mampu memberikan Böwö Famö’ö
Danga sesuai yang diharapkan berarti pihak laki-laki tersebut adalah oarang
yang menjunjung tinggi rasa sosial di dareahnya, dan merupakn orang yang patut
di segani serta dihargai (sering disebut sebagai “ Na ötö zalawa), emas juga menunjukan status sosial
ekonomi bagi masyarakat desa fondrakö raya.
G . Makna Böwö Famö’ö
Danga
Böwö Famö’ö
Danga mengandung makna yang sangat melekat pada kehidupan masyarakat desa
fondrakö
raya, Böwö Famö’ö
Danga dianggap sebuah famolakhömi sebua (sebuah pemuliaan yang besar), masi- masi zi tenga bö’ö(ungkapan
kasih dari besan), tadra wa ebua mböli nonoma (tanda bahwa anak kami adalah
sesuatau yang mahal) tanpa Böwö Famö’ö
Danga sebuah acara pernikahan dianggap lömolakhömi (tidak berwibawa/ tanpa kemuliaan) oleh masyrakat desa
fondrakö
raya.
Pemberian
Böwö Famö’ö
Danga menunjukan tingkat keseriusan pihak laki-laki dalam meminag seorang
wanita menjadi istrinya, maka dari itulah Böwö Famö’ö
Danga harus terbuat dari emas 24 karat murni, sebab pihak laki-laki sepaham dengan pihak perempuan bahwa
orang yang hendak ia nikahi adalah wanita yang mahal seperti emas yang merupakan benda mulia yang
harganya selalu mahal dan harganya sulit unutk turun. Dalam pemberian Böwö Famö’ö
Danga haruslah emas yang 24 karat murni, karena karat emas terbaik adalah 24 karat,
demikian juga pengantin perempuan dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai
tertinggi oleh masyarakat desa fondrakö raya. Kemurnian emas Böwö Famö’ö
Danga menunjukan kemurnian hati dan keseriusan pengantin laki-laki dan
keluarganya saat meminang pengantin perempuan.
G. Implikasi
Dalam penelitian ini dapat
disimpulkan yang perlu dilakukan adalah mencari tahu makna budaya Böwö Famö’ö
Danga dalam acara pernikahan adat di desa fondrakö raya kecamatan ulususua. Implikasi
yang didapatkan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.
Implikasi Teoritis
a. Menambah pengetahuan mengenai
pendalaman budaya, khususnya budaya nias selatan (Böwö).
b. Mengenal keberagaman budaya di Nias
Selatan
c. Memungkinkan adanya penelitian yang
beragam mengenai makna- makna budaya.
2.
Implikasi Praktis
a. Memperkaya ilmu pengetahuan yang
berkaitan dengan budaya, sehuingga peneliti berikutnya dapat termotivasi untuk melakukan
penelitian sejenis yang nantinya dapat diaplikasikan untuk mempertahankan
keutuhan suatu budaya.
b. Menjadi bahan pertimbangan untuk
lebih mencermati keberagaman budaya di Nias Selatan.
BAB
V
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan paparan data
dan pembhasan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
A.
Sejarah Singkat Böwö Famö’ö
Danga
Böwö Famö’ö
Danga telah dikenal masyarakat desa fondrakö raya sejak nenek moyang meraka
berada di fondrakö raya, Böwö Famö’ö
Danga ini telah dilakkuan oleh para leluhur, dan sampai saat ini hal itu masih
berlaku dan dilaksanakan oleh masyarakat desa fondrakö raya dalam setiap
acara adat pernikahan di desa tersebut. Böwö Famö’ö
Danga sejak dulu merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan acara adat
pernikahan di desa fondrakö raya, tanpa Böwö Famö’ö
Danga pernikahan tidak akan diterima oleh pihak prempuan.
B. Bentuk/ Ciri-Ciri Böwö Famö’ö
Danga
Böwö Famö’ö
Danga memiliki bentuk dan ciri yang telah ditentukan oleh masyarakat desa
fondrakö
raya, hal ini dibuat agar masyarakat/ generasi muda dengan tidak sulit
mengenali bentuk dan ciri dari Böwö Famö’ö
Danga yang berlaku di desa tersebut. Adapun bentuk/ ciri-ciri dari Böwö Famö’ö
Danga yang berlaku di desa fondrakö raya adalah sebagai berikut:
1). Bentuk, Böwö Famö’ö
Danga yang telah disiapkan oleh pihak laki-laki harus dalam bentuk cincin atau
kalung, tidak boleh dalam bentuk emas batangan.
2). Ciri- cirinya adalah, emas 24
karat tidak diperbolehkan emas yang 22 karat maupun yang18 karat, dengan berat
minimal 10 gram btidak boleh kurang.
C. Proses
Penyerahan Böwö Famö’ö
Danga
Penyerahan Böwö Famö’ö
Danga kepada pihak perempuan dilakukan secara bersamaan dengan penyerahan
pengantin perempuan kepada pihak laki- laki, pada proses tersebut akan terlihat
secara jelas bahwa ada pertukaran antar pihak laki-laki dengan pihak perempuan,
seperti kita melihat orang melakukan pertukaran barang. Pada saat proses
pertukaran berlangsung pihak laki-laki menyerahkan Böwö Famö’ö
Danga yang telah disiapkan terlebih dahulu kepada pihak perempuan sambil
berkata “ ya’e mböli
fa’erege dödö u ba wondrorogö yai’a ma göi sitobali fondrara- ndrara dödö u, si tobali salahi mboto nono
u”. “(ini imbalan untuk capek yang telah
kamu rasakan selam mengurus dia atau sebagai penghibur mu pengganti dirirnya)”.
Maka setelah menerima Böwö Famö’ö
Danga yang diberikan pihak laki- laki kepada pihak perempuan, pehak perempuan
menyerahkan pengantin wanita kepada pihak laki- laki sambil berkata “ ya’e mböli gana’a u, ya’e mböli bawiu, ya’e
mböli wirö u, ya’e mböli gokhöta u iraono sambö tödö, iraono sareu, lö nasa i’ila mohalöwö. Auri khöu, mate khöu, sökhi khöu, lö sökhi khöu”. “(ini beli emas mu, ini beli
perak mu, ini beli harta mu, anak yang belum dewasa, anak yang malas, belum
bisa kerja. Hidup mati ia milikmu, baik buruk dia milikmu)”.
D. Peranan
Böwö Famö’ö
Danga
Böwö Famö’ö
Danga memiliki peranan yang sangt penting dalam pernikahan adat di desa fondrakö raya sehingga Böwö(mahar) ini nmenjadi ujung tombak
dari pelaksanaan pernikahan adat di desa fondrakö raya. Masyarakat setempat
berpendapat bahwa Böwö Famö’ö
Danga merupakn satu-satunya Böwö (mahar) yang tersisa untuk orang tua dari pengantin
perempuan, karena böwö yang lain diluar Böwö Famö’ö
Danga akan habis dibagikan kepada saudara kandung dari pengantin wanita, kepada
saudara dari bapak pengantin wanita, kepada saudara dari ibu/ mama pengantin
wanita(sibaya/ sokhö) dan kepada orang sekampung/ kerabat
dari keluarga pihak pengantin perempuan(sering disebut Böwö ba mbanua).
Oleh karena itu Böwö Famö’ö
Danga merupakn Böwö yang sangat spesial atau Böwö(mahar) yang mamiliki peranan paling
penting bagi masyrakat desa fondrakö raya.
E. Nilai
Yang Terkandung Pada Böwö Famö’ö
Danga
Böwö Famö’ö
Danga bukanlah hanya sekedar mahar untuk nmenebus pengentin wanita dari
keluarganya, bagi masyarakat desa fondrakö raya Böwö Famö’ö
Danga mengandung beberapa niali yaitu:
1).
Nilai budaya, dari segi
nilai budaya Böwö Famö’ö
Danga merupakan budaya yang diwariskan oleh para leluhur maysarakat desa
fondrakö
raya dan harus di patuhi serta dilestarikan.
2).
Nilai estetik, Böwö Famö’ö
Danga memiliki nilai estetik yang cukup tinggi di desa fondrakö raya, sebab bagi masyrakat setempat
emas merupakn benda yang paling indah dan mewah, karena itulah Böwö Famö’ö
Danga diharuskan dalam bentuk kalung atau cincin supaya dapat dipakai untuk
menghias diri.
3). Nilai sosial, Bagi maysarakat
desa fondrakö
raya jika pihak laki-laki mampu memberikan Böwö Famö’ö
Danga sesuai yang diharapkan berarti pihak laki-laki tersebut adalah oarang
yang menjunjung tinggi rasa sosial di dareahnya, dan merupakn orang yang patut
di segani serta dihargai (sering disebut sebagai “ Na ötö zalawa), emas juga menunjukan status sosial
ekonomi bagi masyarakat desa fondrakö raya.
F. Makna Böwö Famö’ö
Danga
Böwö Famö’ö
Danga dianggap sebuah famolakhömi sebua (sebuah pemuliaan yang besar), masi- masi zi tenga bö’ö(ungkapan
kasih dari besan), tadra wa ebua mböli nonoma (tanda bahwa anak kami adalah
sesuatau yang mahal) tanpa Böwö Famö’ö
Danga sebuah acara pernikahan dianggap lömolakhömi (tidak berwibawa/ tanpa kemuliaan) oleh masyrakat desa
fondrakö
raya.
Pemberian Böwö Famö’ö
Danga menunjukan tingkat keseriusan pihak laki-laki dalam meminag seorang
wanita menjadi istrinya, maka dari itulah Böwö Famö’ö
Danga harus terbuat dari emas 24 karat murni, sebab pihak laki-laki sepaham dengan pihak perempuan bahwa
orang yang hendak ia nikahi adalah wanita yang mahal seperti emas yang merupakan benda mulia yang
harganya selalu mahal dan harganya sulit unutk turun. Dalam pemberian Böwö Famö’ö
Danga haruslah emas yang 24 karat murni, karena karat emas terbaik adalah 24 karat,
demikian juga pengantin perempuan dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai
tertinggi oleh masyarakat desa fondrakö raya. Kemurnian emas Böwö Famö’ö
Danga menunjukan kemurnian hati dan keseriusan pengantin laki-laki dan
keluarganya saat meminang pengantin perempuan.
2.
Saran
Melalui
hasil penelitian dikemukakan beberapa saran antara lain sebagai berikut.
A.
Sudah sepatutnya
uaraian dalam tulisan ini bukan hanya sekedar kritik ilmiah bagi peneliti dan
pembaca, tetapi dapat memberikan hikmah ilmiah dan dapat dijadikan pembelajaran
yang berharga dalam menyikapi permasalahan budaya.
B.
Kiranya
penelitian ini memotivasi pembaca untuk mengkaji aspek-aspek lain dari budaya
sebagai suatu motivasi dalam pelestarian budaya. Bila perlu kalangan mahasiswa
STKIP Nias Selatan yang lain memberdayakan pengkajian semacam ini, sebagai
suatu bentuk partisipasi dalam pelestarian budaya di pulau Nias secara umum dan
di Nias Selatan secara khusus.
Lampiran 1
Daftar
Narasumber
Yang menjadi nara sumber pada penelitian ini adalah tokoh
adat desa fondrakö raya yang memiliki peranan penting dalam
lingkungan masyarakat desa fondrakö raya dan telah memalakukan pegelaran pesta adat yang besar
untuk memperolah gelar adat, ada parah tokoh tersebut adala sebagai
berikut :
11) Aro zisköhi
Giawa, dengan gelar adat Söfu
ma’ifu
12) Sökhi atulö Giawa, dengan gelar adat Saefa nitaya
13) Duhu aro Halawa,
dengan gelar adat Siwa falali
14) Haogö Maifu Giawa, dengan gelar adat Balö ofecu
15) Omasi’ ö Laia, dengan gelar adat Fandrugamaoso
16) Tali fao Ndruru,
dengan gelar adat Maera nitaya
17) Dali zidu Laia, dengan
gelar adat samaeri nahönö
18) Asa
aro Giawa, dengan
gelar adat Tuha sanuwu zato
19) Börö ziduhu Bu’ulölö, dengan gelar adat Balö zatarö
20) Sumangeda
Halawa, dengan
gelar adat Balö zihönö
Lampiran
2
Daftar
Pertanyaan
Peneliti : “
Hamega la börötaigö wamalua böwö famö’ö danga ba mbanua da’a?” (Sejak kapan
böwö Famö’ö
danga
dilaksanakan di desa fondrakö raya)?
Peneliti : “Hadia
ö ila ö tunö khögu hikaya börö böwö Famö’ö
danga,
watola lafalua irugin makhö”? (bisakah bapak menceritakan mengenai böwö Famö’ö danga, sehingga sampai hari ini
budaya tersebut masih di berlakukan)?
Peneliti : “ Hadia fefu welöwa wangowalu lafalua wame böwö famö’ö danga”? (Apakah setiap pernikahan
di desa fondrakö
raya memberikan böwö Famö’ö danga)?
Peneliti : (hauga harago böwö
famö’ö danga na labali’ö ba kefe”? (Seberapa besar nilai
harga ö jika dirupiahkan)?
Peneliti : Hewisa
khala-khala böwö famö’ö danga? (Bagaimana bentuk/ciri
khusus böwö Famö’ö danga yang berlaku di desa fondrakö raya)?
Peneliti : ha ökhö
la be’e böwö Famö’ö danga? (Kepada siapa böwö Famö’ö danga diberikan)?
Peneliti : Hewisa lala wamalua wame böwö Famö’ö danga khö zitenga bö’ö? (Bagaimana proses penyerahan böwö Famö’ö danga kepada pihak perempuan?
Peneliti : Apa akibat jika pihak laki- laki tidak mampu memberikan böwö Famö’ö danga kepada pihak perempuan)?
Peneliti : Hadia tola lafalali böwö Famö’ö danga ba böwö tanö bö’ö? (Apakah böwö Famö’ö danga dapat ditukar dalam bentuk
uang atau dengan bentuk lain, jika seandainya pihak laki tidak memiliki emas?)
Peneliti :
Hana (Mengapa demikian)?
Peneliti : Apakh ada nilai yang terkandung dalam pada böwö Famö’ö danga? Jika ada nilai- nilai apa
saja yang terkandung didalam böwö Famö’ö danga?
Peneliti : hadia fefu noniha meföna mamalua wame’e böwö Famö’ö danga? (Apakah böwö Famö’ö danga dulunya berlaku untuk seluruh
daerah di Pulau Nias)?
Peneliti : Apkah böwö Famö’ö danga berlaku secara keseluruhan di
Kecamatan Ulususa?
Peneliti : Hadia geluaha böwö Famö’ö danga ba mbanua da’a? (Apa makna böwö Famö’ö danga bagi masyarakat desa fondrakö raya)?
Daftar Ptaka
Surya
Sumadi, 2002, Metodologi Penelitian,
edisi II, Universitas Gajah Mada.
Tarian
Guntur, Metodoligi Penelitian Kualitatif,
ghalia Indonesia.
Zendrato
Samudra, 2014, Kebudayaan dan pariwisata
nias, Mitara wacana media.
Sarumaha
Martiman, 2016, Slide metodologi
penelitian, STKIP Nias Selatan.
Laia
bambowo, 2006, Sumane ba bowo ni’orisi,Yayuasan
BAMPER MADI.
Badan
pusat statistika Kabupaten Nias Selatan,2009, Nias Selatan Dalam Angka 2009, Badan Pusat Statistika Nias Selatan.
Supartono
Widyosiswo,1995, Ilmu Budaya Dasar,
Ghalia Indonesia.
Zalukhu
Sukmawati,2012, Seni Budaya Nias,
Yayasan Gema Budaya Nias.
Tim
penyusun Panduan Penyusunan Karya ilmiah (PPKI), 2013, STKIP Nias Selatan
Sihombing
Veronika, H.A.,2013, Kebudayaan Suku Nias,
http://id.wikipedia.org/wiki/Suku
Nias, diakses pada 20 september 2016.
Dachi,
F. Yosafat, 2012, Masyarakat Nias Dan Kebudayaannya, cetakan I, Pemerintah Kabupaten
Nias Selatan.
Boha Lima Yohanes, 1998, Bowo Dalam Adat Perkawinan Nias, Halaman
24-31, http://zairifblog.blogspot.com/2010/07/perkawinan-suku-nias-html,
diakses pada 21 september 2016.
Pusat
Bahasa DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 2003).
Daftar Buku Referensi
1. Panduan Penyusunan Karya Ilmiah
(PPKI) STKIP Nias Selatan
2. Ilmu Budaya Dasar
3. Budaya Dan Pariwisata Nias
4.
Seni Budaya Nias 5. Buku Pintar
6.
Badan Statistika Nias Selatan 7.
KBBI(Kamus Besar Bahasa Idonesia)
8.
Masyarakat Nias Dan Kebudayaannya 9. Blog spot.com
10.
Metodologi Penelitian