Minggu, 22 Januari 2017



MAKNA BUDAYA  BÖWÖ FAMÖÖ DANGA PADA ACARA PERNIKAHAN ADAT  DI  DESA FONDRAKÖ RAYA KECAMATAN ULUSUSUA





MINI RESEARCH








OLEH

ALEXANDER GIAWA
NPM: 14200261008













SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
STKIP – NIAS SELATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
2016 /2017




KATA PENGANTAR

Penulis mempersembahkan puji syukur atas berkat dan anugrah Tuhan yang Maha Pengasih, sehingga penyusunan mini research  yang berjudul Makna Budaya  Böwö Famöö Danga Pada Acara Pernikahan Adat  Di  Desa Fondrakö Raya Kecamatan Ulususua dapat diselesaikan dengan baik. Kegiatan penelitian ini, merupakan salah satu syarat pada mata kuliah metodologi penelitian di program studi pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Dalam usaha pelaksanaan penelitian kecil-kecilan ini, penulis mendapat banyak nasihat dan bimbingan dari berbagai pihak. Dengan penuh kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis untuk menyelesaikan penelitian kecil-kecilan ini.
Semoga Tuhan yang Maha Pengasih melimpahkan berkat dan anugrahNya kepada semua pihak yang telah turut mendukung penulis dalam penyelesaian mini research ini.
Telukdalam, 20 Januarir 2017
Penulis,











DAFTAR ISI
KATA PENGATAR                                                                                               i
DAFTAR ISI                                                                                                          ii
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................        1
A.    Latar Belakang Masalah...........................................................        1
B.     Fokus Penelitian........................................................................        5
C.     Tujuan Penelitian......................................................................        5
D.    Manfaat Penelitian....................................................................        6
BAB II LANDASAN TEORI.......................................................................        7
A.    Budaya.......................................................................................        7
1.      Pengertian Buday.................................................................        7
2.      Sifat- sifat Kebudayaan.......................................................      10
B.     Böwö..........................................................................................      11
1.      Pengantar.............................................................................      11
2.      Defenisi  Böwö/ jujuran(mahar)...........................................      11
3.      Latar Belakang Terjadinya Böwö........................................      13
C.     Famo’o Danga............................................................................      29
1.      Pengertian Famöö Danga....................................................      29
2.      Ciri- ciai Famöö Danga.......................................................      29
D.    Pernikahan..................................................................................      30
E.     Masyarakat Desa........................................................................      31
1.      Pengertian Masyarakat Desa................................................      31
2.      Ciri- ciri Masyarakat Desa....................................................      31


BAB III METODOLOGI PENELITIAN....................................................      33
A.    Pendekatan dan Jenis Penelitian................................................      33
B.       Lokasi Penelitian.......................................................................      33
C.       Kehadiran Peneliti....................................................................     34
D.       Sumber Data.............................................................................      35
E.        Prosedur Pengumpulan Data....................................................      35
F.        Analisis Data.............................................................................      36
DAFTAR PUSTAKA                                                                                          38

DAFTAR LAMPIRAN
1.    Narasumber Penelitian.................................................................................      40
2.    Daftar Pertanyaan........................................................................................      41













BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Landasan pembangunan dan pengembangan suatu suku bangsa adalah budayanya sendiri. Kata budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah yang mempunyai arti bahwa segala sesuatu yang ada hubungannya dengan akal dan budi manusia. Secara harafiah, budaya adalah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat yang diwariskan secara turn temurun kepada generasi berikutnya. Adapun perbedaan antar agama,suku, politik, pakaian, lagu, bahasa, bangunan, maupun karya seni itu akan membuat terbentuknya suatu budaya. Didalam budaya tercermin karakter, pribadi, jati diri atau identitas serta norma-norma suku bangsa tersebut. Demikian juga masyarakat Kabupaten Nias Selatan memiliki banyak budaya yang masih bertahankan, namun sudah mulai dilupakan oleh masyarakat Nias Selatan sendiri, tak dapat disangkal bahwa keberadan bebagai budaya di Nias Selatan sudah mulai terkikis bahkan terancam punah. Hal ini disebabkan kurangnya minat generasi penerus di Nias Selatan untuk mengenali budayanya sendiri.
Dizaman globalisasi ini dunia telah dikuasai oleh tekhnologi, sehingga dengan mudah kita dapat mengenali budaya barat dan melupakan budaya sendiri, pemerolehan informasi yang sangat mudah, cepat dan instan inilah yang mengancam keberadaan budaya di Nias Selatan. Salah satu dari sekian banyak budaya yang ada di Nias Selatan adalah böwö dalam pernikahan, kata böwö bahkan sudah tercatat dalam kamus besar Bahasa Indonesia(KBBI). Di Nias Selatan böwö dalam pernikahan terdiri dari beberapa bagian, salah satu diantarnya yaitu Böwö Famöö Danga yang merupakn bagian dari budaya masyarakat desa Fondrakö Raya, kecamatan Ulususua, Kabupaten Nias Selatan. Saat ini anak-anak remaja, bahkan orangtua lebih senang bermain dengan alat-alat elektroniknya yang canggih ketimbang mengenali serta melestarikan budayanya sendiri, oleh sebab itu sebagai seorang calon sarjana yang perduli dan cinta akan budaya sendiri maka penulis ingin mencari tahu makna sekaligus mengingatkan masyarakat luas khususnya masyarakat Nias Selatan  tentang “Makna Budaya  Böwö Famöö Danga Pada Acara Pernikahan Adat  Di  Desa Fondrakö Raya Kecamatan Ulususua”
Pernikahan/ Perkawinan merupakan salah satu jalan atau suratan hidup yang dialami oleh hampir semua manusia dimuka bumi ini walaupun ada beberapa diantaranya yang tidak terikat dengan perkawinan sampai ajal menjemput. Semua agama resmi di Indonesia memangdang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral, harus dihormati, dan harus dijaga kelanggengannya. Oleh karena itu, setiap orang tua merasa tugasnya sebagai orang tua telah selesai bila anaknya telah memasuki jenjang perkawinan.
Berdasarkan UU PERKAWINAN NO.1 TAHUN 1974 pernikahan / Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut PROF. SUBEKTI, SH Pernikahan/ Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama dan disahkan secara undang – undang  serta agama.
Dalam melaksanakan pernikahan di Nias Selatan mahar disebut Bowo sama seperti daerah di kepulauan Nias lainnya, namun ukuran dan tata cara pemberiannya agak berbeda, bahkan dilintgkungan Nias Selatan sajapun terdapat berbagai perbedaan ukuran dan tata cara pemberian Bowo. Misalnya di desa Fondrako raya kecamatan Ulususua, kabupaten Nias Selatan, menurut informasi yang penulis terima dari masyarakat Desa Fondrako Raya, pernikahan merupakan hal yang sangat sakral dan memiliki nilai yang tinggi, bagi masyarakat Desa Fondrako Raya, utuk melaksanakan acara pernikahan adat ada beberapa hal penting yang menjadi persyaratan untuk pihak laki-laki agar dapat melangsungkan proses upacara pernikahannya secara adat, salah satu persyaratan penting itu adalah “ FAMO’O DANGA”.
Famo’o danga ini biasanya diberikan orang tua / wali pihak laki-laki kepada orang tua / wali pihak perempuan, dengan diberikannya famo’o danga ini, maka orang tua /wali dari pihak perempuan menyerahkan anaknya kepada orang tua / wali pehak laki-laki secara bersamaan. Dalam pemberian famo’o danga ini pihak laki-laki wajib memberi famo’o danga tersebut dalam bentuk emas 24 karat murni dengan berat minimal 10 gram tidak boleh kurang  jika tidak sesuai dengan perysaratan tersebut pihak perempuan tidak akan menerima famo’ danga yang diberikan oleh pihak laki-laki, dan tidak mau mnyerahkan anaknya unutk dinikahi, meskipun famo’o danga tersebut diganti dengan uang atau pemberian lain dalam jumlah yang jauh lebih besar dari nilai famo’o danga tersebut.
Dari berbagai informasi yang penulis peroleh dari masyarakat Desa Fondrako Raya, famo’o danag memiliki pengaruh yang sangat penting dalam pelaksanaan pernikahan di Desa Fondrako Raya bahkan dapat dikatakan FAMO’O DANGA ini sebagai kunci utama berlangsungnya pernikahan di Desa Fondrako Raya, jika mahar lain dapat ditukar dengan uang atau dalam bentuk lain tetapi FAMO’O DANGA tidak dapat ditukar dengan apapun.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, penulis ingin mengadakan penelitian di Desa Fondrako Raya, Kecamatan ULUSUSUA dengan judul “Makna Famo’o Danga Bagi Masyarakat Desa Fondrako Raya Kecamatan Ulususua Pada Upacara Adat Pernikahan.



B. FOKUS PENELITIAN
Menurut Arikunto (2002:22) bahwa,
Apa bila telah diperoleh informasi dari studi pendahuluan/ suatu exploratoris, maka masalah yang akan diteliti menjadi jelas. Agar penelitian dapat dilaksanakan dengan baik, peneliti harus menetukan fokus penelitian, sehingga jelas darimana harus dimulai, kemana harus pergi dan dengan apa.
Berdasarkan pendapat diatas maka fokus penelitian sangat sangat penting dilakukan supaya masalah yang diteliti lebih terarah, dan sekaligus mempermudah proses pengkajian dan menghindari kemungkinan penyimpangan masalah penelitian,  Maka fokus penelitian pada penelitian ini adalah,
1.    Apa makna Makna famo’o danga bagi masyarakat desa fondrako raya kecamatan ulususua Pada Upacara Adat Pernikahan?
2.    Bagaimana Kriteria famo’o danga yang berlaku di masyarakat desa fondrako raya kecamatan ulususua Ulususua Pada Upacara Adat Pernikahan?
3.    Mengapa famo’o danga tidak dapat ditukar dalam bentuk uang atau dalam bentuk lainya meski dangan harga yang lebih besar ?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian adalah:
1.    Untuk menganalisis Makna famo’o danga bagi masyarakat desa fondrako raya kecamatan ulususua Pada Upacara Adat Pernikahan
2.    Untuk mengetahui bagaiman kriteria famo’o danga yang berlaku di masyarakat desa fondrako raya kecamatan ulususua Ulususua Pada Upacara Adat Pernikahan
3.    Untuk mengetahui alasan masyrakat desa fondrako raya kecamatan ulususua Ulususua, Mengapa famo’o danga tidak dapat ditukar dalam bentuk uang atau dalam bentuk lainya meski dangan harga yang lebih besar.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
1.    Bagi generasi penerus di desa fondrako raya: sebagai bahan referansi untuk mempertahankan budaya leluhur
2.    Bagi peneliti: diharapkan dapat memberi sumbangan pada penelitian lebih lanjut dan memperkuat serta menambah wawasan sekaligus kreatifitas dalam penulisan karya ilmiah.
3.    Bagi STKIP: sebagai bahan referensi di STKIP Nias Selatan terutama pada program studi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia.










BAB II
LANDASAN TEORI
A.    Budaya
1.     Pengertian Budaya
Kata budaya berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah yang mempunyai arti bahwa segala sesuatu yang ada hubungannya dengan akal dan budi manusia. Secara harafiah, budaya adalah cara hidup yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat yang diwariskan secara turn temurun kepada generasi berikutnya. Adapun perbedaan antar agama,suku, politik, pakaian, lagu, bahasa, bangunan, maupun karya seni itu akan membuat terbentuknya suatu budaya.
Menurut Soelaiman Soemardin dan Selo Soemadjan menerangkan bahwa suatu kebudayaan merupakan buah atau hasil karya cipta dan rasa masyarakat. Suatu kebudayaan memang mempunyai hubungan yang amat erat dengan perkembangan yang ada di masyarakat. Seorang arkeolog, R. Soekmono menerangkan bahwa budaya adalah hasil kerja atau usaha manusia yang berupa benda maupun hasil buah pikiran manusia dimasa hidupnya. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa budaya adalah hasil karya, cipta dan rasa yang dihasilkan pikiran manusia.
Dalam bahasa inggris, kebudayaan adalah kulture, bersal dari kata culere (bahasaYunani) yang berarti mengerjakan tanah. Dengan mengerjakan tanah manusia mulai hidup dengan menghasikan makanan (food producing). Hal ini berarti, manusia manusia telah berbudi daya dengan mengerjakn tanh karena telah meninggalkan kehidupan yang hanya menmungut hasil alam saja (food gathering).
Pemilihan defenisi kebudayaan yang tepat sangat sukar karena begitu banyak orang yang mendefinisikannya. Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Supartono widyosiswono (1995: 31) budaya adalah “buah budi manusia yang merupakan hasil perjuangan manusia terhadap dua pengaruh kuat, yakni alam zaman (kodrat dan masyarakat)” yang merupakan bukti kejaan hidup manusia untuk mengatasi berbagai rintangan dan kesukaran dalam hidup dan penghidupnya guna mencapai keselamatan dan kebahagian yang pada akhirnya bersifat tertib dan aman. Sedangkan Menurut Koentjoroninggrat, budaya bereti “ keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan hasil belajar serta keseluruhan dari hasil budi pekertinya.
Menurut Dr. H. Th. Fischer dalam Supartono (1995:32)ada sejumlah faktor yang mempengaruhi kebudayaan antara lain,
a). Faktor kitaran geografis (lingkungan hidup)
Faktor lingkungan fisik lokasi geografis merupakan corak suatu budaya. Dengan kata lain faktor kitaran geografis merupakan determinasi yang berperan besar dalm pembentukan suatu kebudayaan. Hal ini bisa diterima secara logika, karena wilayah Nias Selatan yang keadaan alamnya yang terbentuk dari bukit-bukit sempit dan terjal serta pegunungan tinggi diatas permukaan laut bervariasi antra 0-800m, terdir dari dataran rendah sampai bergelombang mencapai 24%, dari dataran rendah sampai berbukit- bukit 28,8%, dan dari berbukit- bukit sampai pegunungan 51,2% dari keseluruhan luas daratan (berdasrkan hasil survei BPS Nias Selatan tahun 2009), memaksa masyrakat sertempat mencari nafkah dengan bertani dan berternak. Dari hasil pertanian dan peternakan inilah masyarakat Nias Selatan pada umunnya memberikan mahar (Bowo) dalam bentuk hewan atau hasil pertanian, salah satu contohnya masyarakat Nias Selatan memberikan Babi sebagai Bwo.
b). Faktor induk bangsa
Ada dua pandangan yang berbeda mengenai faktor induk bangsa ini, yaitu pandangan barat dan pandangan timur. Pandangan barat berpendapat bahwa perbendaan induk bangsa dari beberapa kelompok masyrakat mempunyai pengaruh terhadap corak kebudayaan oleh karena itu bangsa- bangsa yang berasal dari dari ras caucasoid dianggap lebih tinggi dari ras lain. Namun pandangan timur berpendapat bahwa peranan induk bangsa bukanlah sebagai fakotr yang mempengaruhi kebudayaan. Kenyataannya dalam sejarah, budaya timur sudah lebih dulu lahir dan cukup tinggi justru pada sat bangsa barat masih tidur dalam kegelapan.
b. Faktor saling kontak antar bangsa
Hubungan antar bangsa yang makin mudah akibat sarana perhubungan yang makin sempurna menyebabkan suatu bangsa mudah berhubungan dengan bangsa lain. Akibat adanya hubungan antar bangsa ini, dapat atau  tidaknya suatu bangsa mempertahankan kebudayaannya tergantung dari pengaruh kebudayaan asing.
2.     Sifat- sifat kebudayaan
Menurut Supartono (1995:37) ada beberapa sifat sifat kebudayaan antaralain,
a). Kebudayaan beraneka ragam
b). Kebudayaan dapat diteruskan secara sosial dengan pelajaran
c). Kebudayaan dijabarkan dalam komponen- komponen biologi, psikologis, dan sosiologi.
d).kebudayaan mempunyai struktur
e). Kebudayaan mempunyai nilai
f). Kebudayaan mempunyai sifat statis dan dinamis
g). Kebudayaan dapat dibagi kedalam bermacam- macam bidang dan aspek.
            Dari berbagai sifat diatas, kebudayaan di Nias Selatan Khususnya di desa Fondrko raya juga memiliki sifat yang sama sesuai yang dengan diterterakan di atas. Salah satu budaya yang ada di desa fondrako raya adalah Böwö Fam öö Danga, yang akan menjadi bahan penelitian penulis.


B.     Böwö
1 . Pengantar.
            Masyarakat Nias memiliki salah satu adat-istiadat yang disebut dengan “bowo”. Masayarakat nias sangat menjunjung tinggi dan menghormati Bowo bahkan menjadi suatu kewajiban dalam adat perkawinan, karena bowo merupakan salah satu kesempatan dalam menjalin hubungan kekeluargaan yang sangat erat antara kedua belah pihak mempelai. Bowo terjadi pada saat mulai pertungan hingga pesta pernikahan berakhir.
Bowo sebagai tuntutan atau syarat yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak mempelai. Dalam hal ini, bowo juga berkaitan erat dengan proses terjadinya pernikahan, karena bowo merupakan hal utama yang dibicarakan dalam pernikahan. Bagaimana terjadi bowo serta aplikasinya dalam proses perkawinan serta dampak dalam kehidupan masyarakat Nias dan tanggapan public, akan diuraikan dibawah.
2 . Defenisi Bowo (jujuran/Mahar).
Secara etimologi kata Böwö berasal dari bahasa Nias yang artinya hadiah pemberian yang Cuma- Cuma. Sama halanya kita memiliki kegiatan, entah karena ada tamu atau ada pesta keluarga kita memberikan fenegero kepada tetangga baik nasi maupun lauk-pauk yang kita makan saat kegiatan saat itu, kita beri juga pada tetangga kita secara Cuma-Cuma (Samudra Zendratö, 2014:135). Böwö dalam terjemahan bahasa indonesia disebut juga mahar. Menurut KBBI, Mahar adalah pemberian wajib berupa uang dan barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah atau mas kawin.
 Böwö (masi-masi) dalam definisi bahasa nias ialah “bukti kasih”. “Böwö adalah ungkapan kasih (masi-masi), amuata sisökhi (perbuatan baik), famolakhömi (pemuliaan/pengagungan), fasumangeta (penghormatan), nibe’e fao fa’ahele-hele dödö (pemberian penuh ikhlas hati), tenga nifaso ba tenga siso sulö (bukan dipaksa dan tanpa menuntut balasan)”. Maksudnya pihak laki-laki yang mengambil istri dari keluarga lain harus memberi böwö, sebagai tanda kasih kepada pihak perempuan. Dan pihak perempuan dengan meminta böwö menunjukkan penghargaan dan cinta mereka kepada putrinya, sehingga tidak boleh begitu saja pindah ke rumah calon suaminya tanpa bukti böwö Jadi, jujuran adalah suatu sikap yang baik antara kedua belah pihak keluarga yang mengikat tali kekeluargaan sebagai keluarga yang terjadi karena perkawinan antara kedua mempelai.
Dari pendapat diatas dapat disimpulkan bahawa böwö berati bukti kasih seseorang, perbuatan baik, penghormatan, pemberian tanpa dipaksa dan tidak mengharapkan balasan yang dilakukan oleh pihak laki- laki  kepada pihak perempuan.
Berikut ini ada beberapa pengertian dari böwö,
a . Bowo dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut juga mahar. Menurut KBBI, Mahar adalah pemberian wajib berupa uang dan barang dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan ketika dilangsungkan akad nikah atau maskawin.
b . Bowo (masi-masi) dalam defenisi bahasa Nias adalah “bukti kasih” bowo adalah ungkapan kasih (masi-masi), amuata sisokhi (perbuatan baik), famolakhomi  (pemuliaan/pengagungan), fasumangeta (penghormatan), nibe’e fao fa’a hele-hele dodo (pemberian penuh ikhlas hati), tenga nifaso batenga siso sulo (bukan dipaksa dan tanpa menuntut balasan)”. Maksudnya pihak laki-laki yang mengambil istri dari kelurga lain harus memberi Bowo, sebagai tanda kasih kepada pihak perempuan. Dan pihak perempuan dengan meminta Bowo  menunjukan penghargaan dan cinta mereka kepada putrinya, sehingga tidak boleh begitu saja pindah kerumah calon suaminya tanpa bukti Bowo. Jadi, jujuran adalah suatu sikap yang baik antara kedua belah pihak keluarga yang mengikat tali kekeluargaan sebagai keluarga yang terjadi karena perkawinan antara kedua mempelai.

3 . Latar belakang terjadinya “ Bowo”.
            Dalam mitos dikatakan, bahwa ada seorang raja yang bernama raja sirao  yang memiliki Sembilan orang putera. Seorang diantara peteranya itu bernama balugu luo mewona  menjadi pewaris kerajaan menggantikan ayahnya. Ia dinobatkan setelah memenangkan sayembara, yakni sanggup berdiri dan menari diatas unjung tombak barusa sebagai syarat mutlak untuk menjdi pewaris tahta kerajaan seorang diantara putera sirao.
Seorang diantara putera sirao yang telah gagal memenangkan sayembara tersebut yang bernama hia walangi adu. Ia diturunkan ke bumi (pulau nias), dan ia tinggal di gomo. Kepadanya diberi kuasa dan kewajiban khusus, yakni menerapkan pelbagai hukum dan peraturan kepada kaum kerabatnya. Penugasan itu bertujuan agar dibumi tetap terpelihara suatu tatanan hidup yang harmonis, damai dan sejahtera. Karena itu kepadanya diserahkan alat ukuran yang disebut (afore), takaran (lauru), dan timbangan emas (faliera). Ketiga jenis ukuran ini merupakan symbol symbol norma dan kidah tinggkahlaku bagi manusia dibumi. Symbol tersebut mendapat penjabarannya dalam musyawarah agung, yang disebut dengan fondrako. Bowo  berkaitan erat dengan fondrako, sebab Bowo yang diyakini sebagai bagian dari pemberian ilahi kepada nenek moyang terdahulu, ketiga alat pengukur itu menjadi sarana untuk menetapkan hukum dan musyawarah agung yang disebut dengan fondrako.
 Bowo dengan fondrako tak dapat dipisahkan karena diyakini sebagai pemberian ilahi kepada nenek moyang terdahulu. Akhirnya alat pengukur tersebut , menjadi sarana untuk menetapkan hukum dan peraturan yang akan diberlakukan. Fondrako adalah penetapan yang didasari dengan sumpah, serta mengandung  kutuk bagi yang melangarnya. Segala aturan, adat-istiadat, dan hukum yang akan diberlakukan harus diputuskan berdasarkan dan melalui musyawarah fondrako. Dalam musyawarah tersebut, para kepala kampung, pengetua desa, dan kaum bangsawan yang memerintah merebukkan penafsiran hokum adat. Afore, Lauru, Fali’era dikalkulasikan sedemikian rupa pada kesempatan itu, untuk menemtukan hukuman atau sangsi atas peristiwa pelanggaran hokum dan juga dalam urusan mas kawin. Karena itu, hukum dan adat sebagai hasil musyawarah bersama. Bowo yang ditetapkan dalam fondrako  dilaksanakan secara konkrit dalam proses adat perkawinan.
4 . Empat tahap dalam upacara perkawinan masyarakat Nias, yaitu:
a . Tahap meminang, yang terdiri dari upacara mengantar emas pertunangan (mamebola)  dan upacara pengembalian kantong tikar (famuli mbola).
b . Tahap penentuan hari pernikahan (fagoto mbongi) yang didalamnya juga dibicarakan besaran mas kawin.
c . Upacara nikah (fangowalu)
d . Upacara menjenguk orang tua (famuli nukha).
1). Tahap meminang yang terdiri dari upacara mengantar emas pertunagan (mamebola) dan upacara pengembalian kantong tikar (famuli bola).
Membicarakan tentang Bowo perlu dimulai dari tingkat pertunangan. Gagasan perkawinan diprakarsai oleh orang tua laki-laki. Setelah orang tua mengambil keputusan bahwa mereka perlu mengembangkan hubungan dekat dengan salah satu anggota kerabat mereka tertentu, maka jalan yang paling mudah adalah mengusulkan agar anak laki-laki mereka dipertungankan dengan anak gadis keluarga tersebut. Ini berarti bahwa pertunangan bukanlah pertama-tama urusan seorang anak laki-laki dan anak gadis melainkan urusan orang tua kedua belah pihak. Tingkat tunangan mulai diatur disaat orang tua laki-laki  menyuruh seorang wanita yang berumur bertindak sebagai pesuruh atau perantara untuk  menyampaikan pesan kepada orang tua gadis. Wanita berumur itu akan membawa sirih dan menyampaikannya kepada orang tua si gadis seraya memperkenalkan bahwa dia telah disuruh untuk mengatakat sesuatu pesan, yaitu urusan tunangan. Jikalau oaring tua si gadis menerima dan menyetujui usulan pertungan itu maka mereka akan mengatur waktu untuk upacara pertungan resmi yang disebut famatuasa.
Setelah bulat mufakat dari pihak laki-laki, maka mereka mencari seorang laki-laki yang pandai berkata-kata yang akan menyampaikan pesan kepada pihak si perempuan. Orang yang berlaku sebagai pengantara dari pihak laki-laki disebut sio, sedangkan pengantara dari pihak si perempuan disebut samatoro. Sio adalah salah seorang dari kaum kerabat pihak laki-laki sedangkan samatoro adalah salah seorang dari kaum kerabat pihak perempuan. Sio dan samatoro yang menentukan apabila akan beremu  melangsungkan pertunangan (famatuasa yang di sebut juga fanunu manu). Kedua pihak penduduk mempelai hadir saat itu. Hal-hal yang dibawah oleh pihak laki-laki saat bertunangan antara lain:
a). Sebuah sumpit yang bagus berisi sirih (bola helu), yang aka diserahkan oleh mempelai lak-laki kepada mertuanya perempuan (sirih itu adat yang terutama di Nias sampai saat ini).
b). Seekor babi jantan besarnya 4 alisi. Babi itu untuk dipotong, diolah, dan dinikmati oleh kedua belah pihak saat pertunangan.
c). Emas atau uang sebagian dari jujuran.
C.  Fam öö  Danga
1.      Pengertian Fam öö Danga
Kata Böwö Fam öö Danga dalam bahasa nias terdiri dari dua kata yaitu “Fam öö yang artinya pembuka dan “danga” yang artinya tangan, sehingga pengertian dari gabungan kata tersebut adalah pembuka telapak tangan. Tidak semua daerah di nias menggunakan istilah böwö Famöö danga, pada umumnya yang menggunakan istilah ini adalah nias bagian tengah, khususnya kecamatan ULUSUSA, desa FONDRAKÖ RAYA.
Fam öö Danga merupakan böwö yang memiliki peranan penting bagi masyarakat daerah kecamatan yang penulis sebutkan diatas tanpa Fam öö Danga pernikahan tidak akan pernah bisa dilangsungkan.
2.      Ciri- ciri Fam öö Danga
Ciri- ciri Fam öö Danga yang berlaku di daerah yang penulis sebutkan di atas adalah sebagai berikut:
1.    Emas 24 karat murni
2.    Berat minimal 10 gram
3.    Bentuk (kalung, cincin)/ tidak boleh batangan.



D.    Pernikahan
1.      Pengertian pernikahan
Setiap orang menganggap bahwa pernikahan adalah hal yang sangat sakral, anggapan itu muncul dikarenakan apa yang dilakukan dalam pernikahan hanya sekali dalam seumur hidup. Meski belum tentu juga seseorang insan melakukan pernikahan hanya sekali, ada yang dua kali, tiga kali melakukan pernikahan, bahkan ada yang berkali-kali melangsungkan sebuah pernikahan.
Alasan melakukan pernikahan berkali-kali aneka ragam, ada yang kembali melakukan pernikahan karena perceraian atau ketidak cocokan pasangan ketika sudah melakukan pernikahan, ada yang meninggal dunia atau karena ada alasan lain yang menyebabkan seseorang melakukan pernikahan kembali, termasuk di dalamnya karena alasan perselingkuhan.
Menurut Thalib (1980), mendefenisikan pernikahan sebagai suatu perjanjian suci, kuat dan kokoh untuk hidup bersama secara sah antara seoarang laki-laki dengan seorang perempuan untuk membentuk keluarga yang kekal, santun menyantuni, kasih-mengasihi, tentram dan bahagia.
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 1), pernikahan diartikan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami dan istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia lahir maupun batin dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian dapat diartikan bahwa pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan untuk waktu yang lama dan disahkan secara undang – undang  serta agama.
2.      Upacara pernikahan Adat Nias (fangowalu).
Pada  malam (sehari sebelum perkawinan dilangsungkan) pihak lak-laki beramai-ramai datang ke rumah orangtua mempelai wanita dengan membawa dua ekor babi untuk pesta perkawinan itu. Besar babi itu menurut Bosi atau derajat bapak si perempuan dalam adat. Boleh lebih besar tetapi tak boleh kurang. Bagi orang yang derajatnya (bosinya) tinggi terdiri dari 3-4 lebih besar tetapi tak boleh kurang. Bagi orang yang derajatnya (bosinya) tinggi terdiri dari 3-4 ekor babi. Babi yang di bawa itu adalah babi pilihan dan tidak bercacat yakni: babi jantan, telinganya tidak boleh terpotong atau terbelah, ekornya tidak berkudung, taringnya tidak boleh patang.
Apabila tidak sesuai menurut ketentuan diatas , maka bapak dari mempelai laki-laki itu akan di hukum secara adat. Pada malam itu juga, kalau boleh jujuran diselesaikan pembayarannya  supaya besoknya acara perkawinan, pihak si perempuan mengundang orang se-kampungnya dan sanak saudaranya. Yang harus dan wajib di undang ialah ibu dari perempuan gadis  yang nikah itu. Dalam bahasa Nias ibu itu di sebut “uwu”.
Tepat pada hari perkawinan, calon pengantin laki-laki (mengenakkan jas dan kacamata hitam, diarak dari rumahnya menuju rumah penggantin perempuan. Arak-arakan diiringi dengan tabuh-tabuhan yang panjang. Kedatangan mempelai laki-laki ke rumah mertuanya saat hari perkawinan, diiringi oleh orang banyak dengan memukul canang dan bunyi-bunyian yang lain. Orangpun sepanjang jalan menunjukkan kegmbiraannya dengan bernyanyi cara adat yang disebut dalam bahasa Nias boli hae. Seorang yang menyanyikan syair lagu dengan berduyun-duyun serta memuji-muji orangtua dan kampung perempuan itu.
Calon penggantin laki-laki itu di temani oleh sejumlah besar kaum kerabatnya dan segenap masyarakat anggota desa, laki-laki dan perempuan yang biasa disebut  sangai niha (penjemputan pengantin wanita) berangkat ke tempat orangtua pengantin wanita. Setibanya dihalaman rumah, pengantin pria disambut oleh wakil keluarga pihak pengantin wanita. Penyambut itu dilakukan secara adat, sambil memukul gong dan bunyi-bunyian yang lain. Setelah itu dipersilahkan duduk. Disitulah dilakukan adat, laowai (tanda kehormatan sebagai pemberian salam), lalu disajikan sirih (labe’e nafo) dan disediakan makanan dan daging babi sebagai so’i mbowo.
Penyerahan itu dilakukan dengan lagu. Lalu terjadi pembicaraan dalam bentuk sambutan-sambutan. Sambutan oleh pihak perempuan diawali oleh tarian famolaya (tari elang) lalu dikumandangkan semacam pantun oleh pihak pengantin laki-laki. Isi pantun itu biasanya merendahkan diri dan menyanjung pihak lainnya. Demikianlah prose itu berlangsung 1-2 jam. Sementara itu di dapur pihak perempuan mempersiapkan jamuan untuk para tamu yang jumlahnya mencapai 200-an orang. Sampai tahap ini pengantin perempuan rumah pengantin perempuan. Kemudian bersidanglah ketua-ketua adat kedua kampung mempelai itu dihalaman. Hal yang dilakukan saat itu antara lain:
Fanika e’ra-e mbowo (menyelesaikan jujuran).
Famotu sangowalu (memberi nasehat pada mempelai terutama cara mana ia harus berlaku dalam hal berlaki-bini terlebih dalam adat).
Memberi gelar pada perempuan. Gelar itu bertingkat-tingkat, yaitu: Tuho mbarasi, Fili gana’a. Hadi Zau\’uso, Lehe wiro dan lain-lain.
Setelah pembicaraan adat diatas yang disebut orahu selesai, maka pengantin perempuan di keluarkan dari dalam rumah. Ia mengenakan kebaya merah dan bersanggul. Ia dibawa keluar dari rumah dengan didukung oleh ibunya atau saudaranya dan diserahkan kepada pihak mempelai laki-laki. Pengantin wanita akan diberkati oleh ayah, saudara laki-laki ibunya dan kakek-kakeknya sebelum ia meninggalkan rumah orangtuanya. Ayah dan saudara laki-laki ibu dan anggota kaum kerabat lain yang telah memperoleh bagiannya dari emas jujuran akan memeberi hadiah bagi pengantin perempuan. Hadiah ini disebut masi-masi. Hadiah disebut antara lain seperti babi betina, alat-alat tempat tidur, tempat pakaian, perhiasan emas, dan barang lainnya.
 Puncak acara perkawinan adalah ketika pengantin perempuan hendak dibawa pulang oleh pihak pengantin laki-laki. Nyanyian yang semula hingar-bingar mendadak sendu. Satu persatu anggota keluarga bernyanyi, ditunjukan bagi pengantin perempuan. Banyak hadirin yang berlinang air matanya. Pengantin perempuan ini dibawa dengan diusung (dipikul) diiringi oleh orang banyak dengan memukul canang dan bernyayi-nyayi secara adat Nias (faboli hae). Bila pengantin wanita berangkat, ia ditemani oleh sejumlah laki-laki dan wanita dari pihak orangtuanya. Para teman wanita ini disebut samuli niha (pengantar pengantin) dan laki-laki disebut sifaohi yang secara harafiah berarti pengejar dari belakang. Istilah ini mengandung pengertian seolah-olah anak gadis mereka dicuri oleh musuh, lalu mereka mengejar dari belakang. Pengejaran dari belakang bisa terjadi bila si pengantin laki-laki berasal dari desa lain atau perkawinan antara desa.
Pada saat mempelai wanita itu tiba dihalaman rumah mertuanya, maka si istri disambut oleh keluarga laki-laki. Wajah pengantin perempuan menyiratkan kesedihan yang mendalam. Kedua tanganya dipegang/dibimbing supaya ia masuk kedalam rumah, kemudian ditempatkan pada tempat duduk yang terhormat yang disebut dengan “sinata” atau disebut juga lafedadao baro zangehowu. Seketika itu juga pengantin itu disuruh mengampuri sirih (ibidi nafo).
Sirih yang mula-mula dikapurinya itu, diberikan kepada pengantin laki-laki untuk dimakan oleh calon suaminya , adakalanya juga didudukinya. Demikianlah sirih yang lain yang dikapurinya diberikan kepada mertuannya, baru kepada orang lain. Seorang anak laki-laki, umpamanya anak saudara mempelai anak laki-laki itu, yang sehat, apalagi jika rupanya tampan, elok dan tak pernah ada saudaranya yang meninggal. Maka putra tersebut didudukkan pada pangkuan pengantin perempuan itu seraya berkata: “hono nono bahalama, liwu nono ba mbanua, ono matua za’a nono kho ni’o walu”. Artinya kembangkanlah keturunan dan anaknya yang sulung hendaklah anak laki-laki.
Perkawinan kedua mempelai ini dimateraikan dengan:
Dengan penyembelihan babi perkawinan di depan rumah pengantin laki-laki.
Perkawinan di materaikan juga oleh janji antara pengantin laki-laki dan perempuan bahwa mereka tidak akan berpisah, kecuali kematian. Upacara terakhir ini dilakukan di depan pendeta di gereja. Sebelum masuknya kekristenan di Nias deklarasi janji ini dilaksanakan dibawah banyangan patung nenek moyang, dimana imam agama kuno sekaligus memberkati kedua pengantin.
Dua hari setelah hari perkawinan berlangsung , datanglah ibu dari pengantin perempuan ke rumah laki-laki. Dibawanya nasi dan daging babi dibungkus dengan baik atau diletakkan diatas piring kuno yang bagus. Sesampai di rumah dan ibu tersebut disambut oleh pihak laki-laki. Kedua mempelai memakan-makanan itu (pengantin perempuan biasanya disuapin). Tamu besar itu dijamu dengan memotong dengan seekor babi dan  seekor lagi untuk dibawa.
Setelah itu, orangtua mempelai mengadakan pesta yang seolah-olah menghormati menantunya itu. Semua kaum dan orang kampungnya diundang saat itu, dipotong beberapa babi menurut derajat dan keadaanya dikampung tersebut. Jika orang beradab atau bangsawan memotong babi sebanyak 50-60 ekor. Pesta ini disebut “Taho dodo” atau disebut juga fangaruwu.
Setelah pesta taho dodo, kaum kerabat kedua belah pihak akan memanggil pengantin baru kerumah mereka masing-masing. Pengantin baru, ditemani oleh sejumlah laki-laki dan wanita akan diundang makan sambil memberikan hadiah seperti anak babi, ayam, uang bahkan juga emas dan materi lainya agar kelak bisa digunakan oleh kedua pengantin sebagai modal permulaan untuk membangun rumah tangga. Pada kesempatan ini kaum kerabat akan memberiakan nasihat-nasihat yng bermafaat misalnya bagaimana cara mengurus rumahtangga, bertanggungjawab terhadap keluarga, bagaimana melayani tamu, bagaimana menarik perhatian anggota keluarga.

E.   Masyarakat Desa
a.    Pengertain Masyarakat Desa
Secara awam masyarakat desa sering diartikan sebagai masyarakat tradisional dari masyarakat primitif (sederhana). Namun pandangan tersebut sebetulnya kurang tepat, karena masyarakat desa adalah masyarakat yang tinggal di suatu kawasan, wilayah, teritorial tertentu yang disebut desa. Sedangkan masyarakat tradisional adalah masyarakat. yang menguasaan ipteknya rendah sehingga hidupnya masih sederhana dan belum kompleks. Memang tidak dapat dipungkiri masyarakat desa dinegara sedang berkembang seperti Indonesia, ukurannya terdapat pada masyarakat desa yaitu bersifat tradisional dan hidupnya masih sederhana, karena desa-desa di Indonesia pada umumnya jauh dari pengaruh budaya asing/luar yang dapat mempengaruhi perubahan-perubahan pola hidupnya.

b.    Ciri- ciri Masyrakat Desa
Adapun ciri-ciri masyarakat desa antara lain :
1.      Anggota komunitas kecil
2.      Hubungan antar individu bersifat kekeluargaan
3.      Sistem kepemimpinan informal
4.      Ketergantungan terhadap alam tinggi
5.    Religius magis artinya sangat baik menjaga lingkungan dan menjaga jarak dengan penciptanya, cara yang ditempuh antara lain melaksanakan ritus pada masa-masa yang dianggap penting misalnya saat kelahiran, khitanan, kematian dan syukuran pada masa panen, bersih desa.
6.      Rasa solidaritas dan gotong royong tinggi
7.      Kontrol sosial antara warga kuat
8.      hubungan antara pemimpin dengan warganya bersifat informal
9.      Pembagian kerja tidak tegas, karena belum terjadi spesialisasi pekerjaan
10.  Patuh terhadap nilai-nilai dan norma yang berlaku di desanya (tradisi)
11.  Tingkat mobilitas sosialnya rendah
12.  Penghidupan utama adalah petani. 



BAB III
METODE PENELITIAN



A.     Pendekatan  Dan Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan oleh peneliti pada penelitian ini adalah deskriptif kualitatif  karena peneliti hendak membuat penggambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta budaya di daerah Desa Fondrako Raya kecamatan Ulususua, kabupaten Nias Selatan. penulis ingin mendeskripsikan makna budaya böwö Fam öö Danga yang memiliki peranan penting untuk pelaksanaan pernikahan adat di desa Fondrakö raya, kecamatan Ulususua, kabupaten Nias Selatan.

karena budaya böwö Famöö danga hanya berlaku di daerah tersebut dan sekitarnya, dengan kata lain budaya böwö Famöö danga bukan merupakan budaya yang berlaku untuk sebagian wilayah di Nias Selatan.
B.   Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Fondrako Raya Kecamatan Ulususua Kabupaten Nias Selatan. Daerah ini berada sekitar ± 40 km dari kota Telukdalam, sebelah timur brbatasan kecamatan Lolowa’u, sebelah barat berbatasan dengan kecamatan susua, sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Lolomatua, dan sebalah barat berbatasan dengan  kecamatan Amandaraya. Kecamatan ulususa merupakan kecamatan pemekaran dari kecamatan Amandraya daerah ini merupakan hulu dari sungai susua yang ada di Nias Selatan. Mata pencarian masyrakat setempat adalah bertani, bercocok tanam, daerah kecamatan ulususa masuk pada kategori daerah pedalaman karena daerah ini sangat jauh dari ibu kota kabupaten Nias Selatan. Alasan pemilihan lokasi tersebut karana di daerah tersebut belum pernah dilakukan penelitian ilmiah mengenai makna budaya mesyarakat setempat, selain itu alasan peneliti memilih lokasi tersebut
C.           Kehadiran Peneliti
                             Untuk mendapatkan data-data yang valid dan objektif terhadap penelitian yang akan dilakukan maka kehadiran peneliti dalam penelitian ini sangat mutlak diperlukan, Oleh karena itu, peneliti mekakukan pengamatan langsung terhadap kegiatan-kegiatan yang akan diteliti. Kehadiran peneliti sangat menentukan hasil penelitian, maka untuk mendapatkan informasi yang valid, peneliti melakukan interaksi komuniksasi secara langsung dalam bentuk wawancara terhadap narasumber yangtelah peneliti tantukan, kemudian meneliti menarik kesimpulan dari hasil wawancara tersebut.
Yang menjadi istrumen pada penilitian ini adalah peneliti sendiri.
D.           Sumber Data
Sumber data penelitian ini terdirir dari data primer yaitu data yang langsung diperoleh lansung dari responden penelitian yakni tokoh adat dan penatua adat desa fondrakö raya, dan data sekunder yakni yang diperoleh melalui orang lain (bukan responden penelitian) Istilah sarumaha (Ama Murni Sarumaha),  
E.            Prosedur Pengumpulan Data
     Teknik pengumpulan data yang peneliti gunakan pada penelitian ini yaitu wawancara secara langsung. Kegiatan wawancara dilakukan kepada para tokoh adat dan penatua adat desa fondrakö raya, tentang makna famöö danga bagi masyarakat desa fondrakö raya.
Yang menjadi nara sumber pada penelitian ini adalah tokoh adat desa fondrakö raya  yang memiliki peranan penting dalam lingkungan masyarakat desa fondrakö raya dan telah memalakukan pegelaran pesta adat yang besar untuk memperolah gelar adat, ada parah tokoh tersebut adala sebagai berikut :
1)           Aro zisköhi Giawa, dengan gelar adat Söfu ma’ifu
2)      Sökhi atulö Giawa, dengan gelar adat Saefa nitaya
3)      Duhu aro Halawa, dengan gelar adat Siwa falali
4)      Haogö Maifu Giawa,  dengan gelar adat Balö ofecu
5)      Omasi’ ö Laia, dengan gelar adat  Fandrugamaoso
6)      Tali fao Ndruru, dengan gelar adat Maera nitaya
7)      Dali zidu Laia, dengan gelar adat samaeri nahönö
8)      Asa aro Giawa, dengan gelar adat Tuha sanuwu zato
9)      Börö ziduhu Bu’ulö, dengan gelar adat Balö zatarö
10)  Sumangeda Halawa, dengan gelar adat Balö zihönö
                                                    
F.            Analisis Data
                 Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesis, menyusun ke dalam pola memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat simpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri maupun orang lain. Maka pada penelitian ini peneliti melakukan wawancara secara langsung dilapangan kepada tokah adat dan beberapa masyarakat kecamatan Ulususua guna memperoleh data yang valid, untuk didokumentasikan secara sistematis..
                 Langkah-langkah yang harus ditempuh dalam menganalisis data dengan analisis mengalir (flow model of analysis) meliputi beberapa hal yaitu,




1.      Reduksi data (data reduction)
Pada langkah ini, data yang sudah diperoleh dicatat kemudian dilakukan penyederhanaan data. Data-data yang dipilih hanya data-data yang berkaitan dengan masalah yang akan dianalisis, yaitu mengenai makna böwö Famöö Danga bagi masyarakat desa fondrakö raya kecamatan ulususua. Informasi-informasi yang mengacu pada permasalahan itulah yang menjadi data dalam penelitian ini.
2.      Penyajian data (display data)
Pada langkah ini, data-data yang sudah ditetapkan kemudian disusun secara teratur dan terperinci agar mudah dipahami. Data-data tersebut kemudian dianalisis sehingga diperoleh fenomenologi mengenai makna budaya böwö Fam öö Danga bagi masyarakat desa fondrakö raya kecamatan ulususua.Penarikan simpulan/verifikasi
Pada tahap ini dibuat simpulan tentang hasil dari data yang diperoleh sejak awal penelitian. Simpulan ini masih memerlukan adanya verifikasi (penelitian kembali tentang kebenaran laporan) sehingga hasil yang telah diperoleh benar-benar valid.
3.      Penarikan kesimpulan (verifikasi)
      Pada tahap ini dibuat simpulan tentang hasil dari data yang diperoleh sejak awal penelitian. Simpulan ini masih memerlukan adanya verifikasi (penelitian kembali tentang kebebnaran laporan), sehingga hasil yang telah diperoleh benar- benar valid. Ketiga langkah- langkah tersebut saling berkaitan dan dilakukan secara terus menerus mulai dari awal, saat penelitian berlangsung hingga sampai akhir penelitian.






BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

A.    Paparan Data
Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian fenomenologi. Penelitian Metode fenomenologi digunakan untuk memahami, menggali dan menafsirkan arti dari peristiwa- peristiwa, fenomena- fenomena dan hubungan dengan orang- orang dalam situasi tertentu , dengan menggunakan pengamatan terhadap fenomena- fenomena atau gejala- gejala sosial yang alamiah (nature) digunakan sebagai sumber data, pendekatan ini berdasarkan kenyataan lapangan (empiris). Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk menemukan makna budaya böwö Famöö Danga di desa fondrakö raya kecamatan ulususua.
B.     Sejarah Simgkat Böwö Famöö Danga
Böwö Famöö Danga telah dikenal masyarakat desa fondrakö raya sejak nenek moyang meraka berada di fondrakö raya, Böwö Famöö Danga ini telah dilakkuan oleh para leluhur, dan sampai saat ini hal itu masih berlaku dan dilaksanakan oleh masyarakat desa fondrakö raya dalam setiap acara adat pernikahan di desa tersebut. Böwö Famöö Danga sejak dulu merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan acara adat pernikahan di desa fondrakö raya, tanpa Böwö Famöö Danga pernikahan tidak akan diterima oleh pihak prempuan.


C.    Bentuk/  Ciri-Ciri Böwö Famöö Danga
Böwö Famöö Danga memiliki bentuk dan ciri yang telah ditentukan oleh masyarakat desa fondrakö raya, hal ini dibuat agar masyarakat/ generasi muda dengan tidak sulit mengenali bentuk dan ciri dari Böwö Famöö Danga yang berlaku di desa tersebut. Adapun bentuk/ ciri-ciri dari Böwö Famöö Danga yang berlaku di desa fondrakö raya adalah sebagai berikut:
a.     Bentuk, Böwö Famöö Danga yang telah disiapkan oleh pihak laki-laki harus dalam bentuk cincin atau kalung, tidak boleh dalam bentuk emas batangan.
b.    Ciri- cirinya adalah, emas 24 karat tidak diperbolehkan emas yang 22 karat maupun yang18 karat, dengan berat minimal 10 gram btidak boleh kurang.

Proses Penyerahan Böwö Famöö Danga
Proses penyerahan Böwö Famöö Danga tidak dilakukan secara sederha tetapi dilakukan secara khusus, karena Böwö Famöö Danga merupakan Böwö yang terakhir dibayar oleh pihak laki- laki kepada pihak perempuan sebelum pengantin dibawa keluar dan diserahkan sama pihak laki-laki.
Penyerahan Böwö Famöö Danga kepada pihak perempuan dilakukan secara bersamaan dengan penyerahan pengantin perempuan kepada pihak laki- laki, pada proses tersebut akan terlihat secara jelas bahwa ada pertukaran antar pihak laki-laki dengan pihak perempuan, seperti kita melihat orang melakukan pertukaran barang. Pada saat proses pertukaran berlangsung pihak laki-laki menyerahkan Böwö Famöö Danga yang telah disiapkan terlebih dahulu kepada pihak perempuan sambil berkata “ ya’e mböli fa’erege dödö u ba wondrorogö yai’a ma göi sitobali fondrara- ndrara dödö u, si tobali salahi mboto nono u”.  “(ini imbalan untuk capek yang telah kamu rasakan selam mengurus dia atau sebagai penghibur mu pengganti dirirnya)”. Maka setelah menerima Böwö Famöö Danga yang diberikan pihak laki- laki kepada pihak perempuan, pehak perempuan menyerahkan pengantin wanita kepada pihak laki- laki sambil berkata “  ya’e mböli gana’a u, ya’e mböli bawiu, ya’e mböli wirö u, ya’e mböli gokhöta u iraono sambö tödö, iraono sareu, lö nasa i’ila mohalöwö. Auri khöu, mate khöu, sökhi khöu, lö sökhi khöu”. “(ini beli emas mu, ini beli perak mu, ini beli harta mu, anak yang belum dewasa, anak yang malas, belum bisa kerja. Hidup mati ia milikmu, baik buruk dia milikmu)”.
Pada saat proses ini berlangsung biasanya pengantin wanita akan menangis tersedu-sedu karena pada saat proses itu berakhir maka berakhir pula kebersamaannya dengan keluarga tercintanya dan dia akan memiliki keluarga baru yang keadaan dan situsinya sama sekali belum dia kenal. Setelah proses ini terlaksana dengan baik maka pernikahan dianggap sah oleh kelurga dan kerabat pihak perempuan dan pihak laki-laki berhak membawa pengantin wanita ikut bersama dengan mereka.
D.    Peranan Böwö Famöö Danga
Böwö Famöö Danga memiliki peranan yang sangt penting dalam pernikahan adat di desa fondrakö raya sehingga Böwö(mahar) ini nmenjadi ujung tombak dari pelaksanaan pernikahan adat di desa fondrakö raya. Masyarakat setempat berpendapat bahwa Böwö Famöö Danga merupakn satu-satunya Böwö (mahar) yang tersisa untuk orang tua dari pengantin perempuan, karena böwö yang lain diluar Böwö Famöö Danga akan habis dibagikan kepada saudara kandung dari pengantin wanita, kepada saudara dari bapak pengantin wanita, kepada saudara dari ibu/ mama pengantin wanita(sibaya/ sokhö) dan kepada orang sekampung/ kerabat dari keluarga pihak pengantin perempuan(sering disebut Böwö ba mbanua). Oleh karena itu Böwö Famöö Danga merupakn Böwö yang sangat spesial atau Böwö(mahar) yang mamiliki peranan paling penting bagi masyrakat desa fondrakö raya.
Karena perannya yang begitu penting maka Böwö Famöö Danga harus disiapkan pihak laki-laki sebelum acara parnikahan dilaksanakan, jika tidak maka pihak perempuan akan menunda pernikahan sampai pihak laki-laki mendapatkan Böwö Famöö Danga yang telah ditetapkan pihak perempuan. Dan kerena peranannya itu pulalah sehingga Böwö Famöö Danga tidak dapat ditukar dalam bentuk apapun meski dengan nilai yang lebih besar, sebab biasanya Böwö Famöö Danga itu akan digunakan kembali ketika orangtua dari pihak perempuan akan menikahkan anaknya yang laki-laki.

E.     Nilai Yang Terkandung Pada Böwö Famöö Danga
Böwö Famöö Danga bukanlah hanya sekedar mahar untuk nmenebus pengentin wanita dari keluarganya, bagi masyarakat desa fondrakö raya Böwö Famöö Danga mengandung beberapa niali yaitu:
1). Nilai budaya, dari segi nilai budaya Böwö Famöö Danga merupakan budaya yang diwariskan oleh para leluhur maysarakat desa fondrakö raya dan harus di patuhi serta dilestarikan.

2). Nilai estetik, Böwö Famöö Danga memiliki nilai estetik yang cukup tinggi di desa fondrakö raya, sebab bagi masyrakat setempat emas merupakn benda yang paling indah dan mewah, karena itulah Böwö Famöö Danga diharuskan dalam bentuk kalung atau cincin supaya dapat dipakai untuk menghias diri.

3). Nilai sosial, Bagi maysarakat desa fondrakö raya jika pihak laki-laki mampu memberikan Böwö Famöö Danga sesuai yang diharapkan berarti pihak laki-laki tersebut adalah oarang yang menjunjung tinggi rasa sosial di dareahnya, dan merupakn orang yang patut di segani serta dihargai (sering disebut sebagai “ Na ötö zalawa), emas juga menunjukan status sosial ekonomi bagi masyarakat desa fondrakö raya.
G .     Makna Böwö Famöö Danga
     Böwö Famöö Danga mengandung makna yang sangat melekat pada kehidupan masyarakat desa fondrakö raya, Böwö Famöö Danga dianggap sebuah famolakhömi sebua (sebuah pemuliaan yang besar), masi- masi zi tenga böö(ungkapan kasih dari besan), tadra wa ebua mböli nonoma (tanda bahwa anak kami adalah sesuatau yang mahal) tanpa Böwö Famöö Danga sebuah acara pernikahan dianggap lömolakhömi (tidak berwibawa/ tanpa kemuliaan) oleh masyrakat desa fondrakö raya.
     Pemberian Böwö Famöö Danga menunjukan tingkat keseriusan pihak laki-laki dalam meminag seorang wanita menjadi istrinya, maka dari itulah Böwö Famöö Danga harus terbuat dari emas 24 karat murni, sebab pihak laki-laki sepaham dengan pihak perempuan bahwa orang yang hendak ia nikahi adalah wanita yang mahal seperti emas yang merupakan benda mulia yang harganya selalu mahal dan harganya sulit unutk turun. Dalam pemberian Böwö Famöö Danga haruslah emas yang 24 karat murni,  karena karat emas terbaik adalah 24 karat, demikian juga pengantin perempuan dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi oleh masyarakat desa fondrakö raya. Kemurnian emas Böwö Famöö Danga menunjukan kemurnian hati dan keseriusan pengantin laki-laki dan keluarganya saat meminang pengantin perempuan.

G.    Implikasi
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan yang perlu dilakukan adalah mencari tahu makna budaya  Böwö Famöö Danga dalam acara pernikahan adat di desa fondrakö raya kecamatan ulususua. Implikasi yang didapatkan peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.      Implikasi Teoritis
a.       Menambah pengetahuan mengenai pendalaman budaya, khususnya budaya nias selatan (Böwö).
b.      Mengenal keberagaman budaya di Nias Selatan
c.       Memungkinkan adanya penelitian yang beragam mengenai makna- makna budaya.
2.      Implikasi Praktis
a.       Memperkaya ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan budaya, sehuingga peneliti berikutnya dapat termotivasi untuk melakukan penelitian sejenis yang nantinya dapat diaplikasikan untuk mempertahankan keutuhan suatu budaya.
b.      Menjadi bahan pertimbangan untuk lebih mencermati keberagaman budaya di Nias Selatan.















BAB V
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Berdasarkan paparan data dan pembhasan hasil penelitian, diperoleh kesimpulan sebagai berikut.
A.    Sejarah Singkat Böwö Famöö Danga
Böwö Famöö Danga telah dikenal masyarakat desa fondrakö raya sejak nenek moyang meraka berada di fondrakö raya, Böwö Famöö Danga ini telah dilakkuan oleh para leluhur, dan sampai saat ini hal itu masih berlaku dan dilaksanakan oleh masyarakat desa fondrakö raya dalam setiap acara adat pernikahan di desa tersebut. Böwö Famöö Danga sejak dulu merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan acara adat pernikahan di desa fondrakö raya, tanpa Böwö Famöö Danga pernikahan tidak akan diterima oleh pihak prempuan.
B.     Bentuk/  Ciri-Ciri Böwö Famöö Danga
Böwö Famöö Danga memiliki bentuk dan ciri yang telah ditentukan oleh masyarakat desa fondrakö raya, hal ini dibuat agar masyarakat/ generasi muda dengan tidak sulit mengenali bentuk dan ciri dari Böwö Famöö Danga yang berlaku di desa tersebut. Adapun bentuk/ ciri-ciri dari Böwö Famöö Danga yang berlaku di desa fondrakö raya adalah sebagai berikut:
1). Bentuk, Böwö Famöö Danga yang telah disiapkan oleh pihak laki-laki harus dalam bentuk cincin atau kalung, tidak boleh dalam bentuk emas batangan.
2). Ciri- cirinya adalah, emas 24 karat tidak diperbolehkan emas yang 22 karat maupun yang18 karat, dengan berat minimal 10 gram btidak boleh kurang.
C.     Proses Penyerahan Böwö Famöö Danga
Penyerahan Böwö Famöö Danga kepada pihak perempuan dilakukan secara bersamaan dengan penyerahan pengantin perempuan kepada pihak laki- laki, pada proses tersebut akan terlihat secara jelas bahwa ada pertukaran antar pihak laki-laki dengan pihak perempuan, seperti kita melihat orang melakukan pertukaran barang. Pada saat proses pertukaran berlangsung pihak laki-laki menyerahkan Böwö Famöö Danga yang telah disiapkan terlebih dahulu kepada pihak perempuan sambil berkata “ ya’e mböli fa’erege dödö u ba wondrorogö yai’a ma göi sitobali fondrara- ndrara dödö u, si tobali salahi mboto nono u”.  “(ini imbalan untuk capek yang telah kamu rasakan selam mengurus dia atau sebagai penghibur mu pengganti dirirnya)”. Maka setelah menerima Böwö Famöö Danga yang diberikan pihak laki- laki kepada pihak perempuan, pehak perempuan menyerahkan pengantin wanita kepada pihak laki- laki sambil berkata “  ya’e mböli gana’a u, ya’e mböli bawiu, ya’e mböli wirö u, ya’e mböli gokhöta u iraono sambö tödö, iraono sareu, lö nasa i’ila mohalöwö. Auri khöu, mate khöu, sökhi khöu, lö sökhi khöu”. “(ini beli emas mu, ini beli perak mu, ini beli harta mu, anak yang belum dewasa, anak yang malas, belum bisa kerja. Hidup mati ia milikmu, baik buruk dia milikmu)”.

D.    Peranan Böwö Famöö Danga
Böwö Famöö Danga memiliki peranan yang sangt penting dalam pernikahan adat di desa fondrakö raya sehingga Böwö(mahar) ini nmenjadi ujung tombak dari pelaksanaan pernikahan adat di desa fondrakö raya. Masyarakat setempat berpendapat bahwa Böwö Famöö Danga merupakn satu-satunya Böwö (mahar) yang tersisa untuk orang tua dari pengantin perempuan, karena böwö yang lain diluar Böwö Famöö Danga akan habis dibagikan kepada saudara kandung dari pengantin wanita, kepada saudara dari bapak pengantin wanita, kepada saudara dari ibu/ mama pengantin wanita(sibaya/ sokhö) dan kepada orang sekampung/ kerabat dari keluarga pihak pengantin perempuan(sering disebut Böwö ba mbanua). Oleh karena itu Böwö Famöö Danga merupakn Böwö yang sangat spesial atau Böwö(mahar) yang mamiliki peranan paling penting bagi masyrakat desa fondrakö raya.
E.     Nilai Yang Terkandung Pada Böwö Famöö Danga
Böwö Famöö Danga bukanlah hanya sekedar mahar untuk nmenebus pengentin wanita dari keluarganya, bagi masyarakat desa fondrakö raya Böwö Famöö Danga mengandung beberapa niali yaitu:
1).                Nilai budaya, dari segi nilai budaya Böwö Famöö Danga merupakan budaya yang diwariskan oleh para leluhur maysarakat desa fondrakö raya dan harus di patuhi serta dilestarikan.
2). Nilai estetik, Böwö Famöö Danga memiliki nilai estetik yang cukup tinggi di desa fondrakö raya, sebab bagi masyrakat setempat emas merupakn benda yang paling indah dan mewah, karena itulah Böwö Famöö Danga diharuskan dalam bentuk kalung atau cincin supaya dapat dipakai untuk menghias diri.
3). Nilai sosial, Bagi maysarakat desa fondrakö raya jika pihak laki-laki mampu memberikan Böwö Famöö Danga sesuai yang diharapkan berarti pihak laki-laki tersebut adalah oarang yang menjunjung tinggi rasa sosial di dareahnya, dan merupakn orang yang patut di segani serta dihargai (sering disebut sebagai “ Na ötö zalawa), emas juga menunjukan status sosial ekonomi bagi masyarakat desa fondrakö raya.
F.      Makna Böwö Famöö Danga
Böwö Famöö Danga dianggap sebuah famolakhömi sebua (sebuah pemuliaan yang besar), masi- masi zi tenga böö(ungkapan kasih dari besan), tadra wa ebua mböli nonoma (tanda bahwa anak kami adalah sesuatau yang mahal) tanpa Böwö Famöö Danga sebuah acara pernikahan dianggap lömolakhömi (tidak berwibawa/ tanpa kemuliaan) oleh masyrakat desa fondrakö raya.
            Pemberian Böwö Famöö Danga menunjukan tingkat keseriusan pihak laki-laki dalam meminag seorang wanita menjadi istrinya, maka dari itulah Böwö Famöö Danga harus terbuat dari emas 24 karat murni, sebab pihak laki-laki sepaham dengan pihak perempuan bahwa orang yang hendak ia nikahi adalah wanita yang mahal seperti emas yang merupakan benda mulia yang harganya selalu mahal dan harganya sulit unutk turun. Dalam pemberian Böwö Famöö Danga haruslah emas yang 24 karat murni,  karena karat emas terbaik adalah 24 karat, demikian juga pengantin perempuan dianggap sebagai sesuatu yang memiliki nilai tertinggi oleh masyarakat desa fondrakö raya. Kemurnian emas Böwö Famöö Danga menunjukan kemurnian hati dan keseriusan pengantin laki-laki dan keluarganya saat meminang pengantin perempuan.


2.      Saran
Melalui hasil penelitian dikemukakan beberapa saran antara lain sebagai berikut.
A.    Sudah sepatutnya uaraian dalam tulisan ini bukan hanya sekedar kritik ilmiah bagi peneliti dan pembaca, tetapi dapat memberikan hikmah ilmiah dan dapat dijadikan pembelajaran yang berharga dalam menyikapi permasalahan budaya.
B.     Kiranya penelitian ini memotivasi pembaca untuk mengkaji aspek-aspek lain dari budaya sebagai suatu motivasi dalam pelestarian budaya. Bila perlu kalangan mahasiswa STKIP Nias Selatan yang lain memberdayakan pengkajian semacam ini, sebagai suatu bentuk partisipasi dalam pelestarian budaya di pulau Nias secara umum dan di Nias Selatan secara khusus.




Lampiran 1

Daftar Narasumber
Yang menjadi nara sumber pada penelitian ini adalah tokoh adat desa fondrakö raya  yang memiliki peranan penting dalam lingkungan masyarakat desa fondrakö raya dan telah memalakukan pegelaran pesta adat yang besar untuk memperolah gelar adat, ada parah tokoh tersebut adala sebagai berikut :
11)  Aro zisköhi Giawa, dengan gelar adat Söfu ma’ifu
12)  Sökhi atulö Giawa, dengan gelar adat Saefa nitaya
13)  Duhu aro Halawa, dengan gelar adat Siwa falali
14)  Haogö Maifu Giawa,  dengan gelar adat Balö ofecu
15)  Omasi’ ö Laia, dengan gelar adat  Fandrugamaoso
16)  Tali fao Ndruru, dengan gelar adat Maera nitaya
17)  Dali zidu Laia, dengan gelar adat samaeri nahönö
18)  Asa aro Giawa, dengan gelar adat Tuha sanuwu zato
19)  Börö ziduhu Bu’ulö, dengan gelar adat Balö zatarö
20)  Sumangeda Halawa, dengan gelar adat Balö zihönö






Lampiran 2
Daftar Pertanyaan
Peneliti            : “ Hamega la börötaigö wamalua böwö famöö danga ba mbanua da’a?” (Sejak kapan böwö Famöö danga dilaksanakan di desa fondrakö raya)?
Peneliti            : “Hadia ö ila ö tunö khögu hikaya börö böwö Famöö danga, watola lafalua irugin makhö”? (bisakah bapak menceritakan mengenai böwö Famöö danga, sehingga sampai hari ini budaya tersebut masih di berlakukan)?
Peneliti            : “ Hadia fefu welöwa wangowalu lafalua wame böwö famöö danga”? (Apakah setiap pernikahan di desa fondrakö raya memberikan böwö Famöö danga)?
Peneliti            : (hauga harago böwö famöö danga na labali’ö ba kefe”? (Seberapa besar nilai harga ö jika dirupiahkan)?
Peneliti            :  Hewisa khala-khala böwö famöö danga? (Bagaimana bentuk/ciri khusus böwö Famöö danga yang berlaku di desa fondrakö raya)?
Peneliti         : ha ökhö la be’e  böwö Famöö danga? (Kepada siapa böwö Famöö danga diberikan)?
Peneliti         : Hewisa lala wamalua wame böwö Famöö danga khö zitenga böö? (Bagaimana proses penyerahan böwö Famöö danga kepada pihak perempuan?
Peneliti         : Apa akibat jika pihak laki- laki tidak mampu memberikan böwö Famöö danga kepada pihak perempuan)?
Peneliti         : Hadia tola lafalali böwö Famöö danga ba böwö tanö böö? (Apakah böwö Famöö danga dapat ditukar dalam bentuk uang atau dengan bentuk lain, jika seandainya pihak laki tidak memiliki emas?)

 Peneliti        : Hana (Mengapa demikian)?
Peneliti         : Apakh ada nilai yang terkandung dalam pada böwö Famöö danga? Jika ada nilai- nilai apa saja yang terkandung didalam böwö Famöö danga?
Peneliti         : hadia fefu noniha meföna mamalua wame’e böwö Famöö danga? (Apakah böwö Famöö danga dulunya berlaku untuk seluruh daerah di Pulau Nias)?
Peneliti         : Apkah böwö Famöö danga berlaku secara keseluruhan di Kecamatan Ulususa?
Peneliti         : Hadia geluaha böwö Famöö danga ba mbanua da’a? (Apa makna böwö Famöö danga bagi masyarakat desa fondrakö raya)?













Daftar Ptaka

Surya Sumadi, 2002, Metodologi Penelitian, edisi II, Universitas Gajah Mada.
Tarian Guntur, Metodoligi Penelitian Kualitatif, ghalia Indonesia.
Zendrato Samudra, 2014, Kebudayaan dan pariwisata nias, Mitara wacana media.
Sarumaha Martiman, 2016, Slide metodologi penelitian,  STKIP Nias Selatan.
Laia bambowo, 2006, Sumane ba bowo ni’orisi,Yayuasan BAMPER MADI.
Badan pusat statistika Kabupaten Nias Selatan,2009, Nias Selatan Dalam Angka 2009, Badan Pusat Statistika Nias Selatan.
Supartono Widyosiswo,1995, Ilmu Budaya Dasar, Ghalia Indonesia.
Zalukhu Sukmawati,2012, Seni Budaya Nias, Yayasan Gema Budaya Nias.
Tim penyusun Panduan Penyusunan Karya ilmiah (PPKI), 2013, STKIP Nias Selatan
Sihombing Veronika, H.A.,2013, Kebudayaan Suku Nias, http://id.wikipedia.org/wiki/Suku Nias, diakses pada 20 september 2016.
Dachi, F. Yosafat, 2012, Masyarakat Nias Dan Kebudayaannya, cetakan I, Pemerintah Kabupaten Nias Selatan.
Boha Lima Yohanes, 1998, Bowo Dalam Adat Perkawinan Nias, Halaman 24-31, http://zairifblog.blogspot.com/2010/07/perkawinan-suku-nias-html, diakses pada 21 september 2016.
Pusat Bahasa DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka 2003).




Daftar Buku Referensi
1.      Panduan Penyusunan Karya Ilmiah (PPKI) STKIP Nias Selatan
2.      Ilmu Budaya Dasar
3.      Budaya Dan Pariwisata Nias


4.       Seni Budaya Nias                                                            5. Buku Pintar
6.       Badan Statistika Nias Selatan                                     7. KBBI(Kamus Besar Bahasa Idonesia)




8.       Masyarakat Nias Dan Kebudayaannya                   9. Blog spot.com
10.   Metodologi Penelitian


Tidak ada komentar:

Posting Komentar